Ideologi Feminisme Radikal Dalam RUU PKS Harus Dilawan dan Ditolak

DALAM menyikapi Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (Selanjutnya disebut RUU PKS) harus sangat hati-hati sebab di dalam nya penuh dengan jebakan. Isue mengenai pembentukan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual selanjutnya disebut RUU PKS sudah ada sejak tahun 2016, sedangkan draft dan Naskah Akademiknya baru selesai di tahun 2019.

Kejahatan-kejahatan yang berkaitan dengan seksualitas atau asusila masih banyak terjadi di Negeri ini, sebagaimana dalam Lembar Fakta dan Poin Kunci Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan Tahun 2018 halaman 1 di sebutkan bahwa Ada 348.446 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dan ditangani selama tahun 2017, yang terdiri dari 335.062 kasus bersumber pada data kasus/perkara yang ditangani oleh Pengadilan Agama, serta 13.384 kasus yang ditangani oleh 237 lembaga mitra pengadalayanan, tersebar di 34 Provinsi.

BPS dalam situs resminya menyatakan bahwa hasil pendataan survey pengalaman hidup perempuan nasional (PHPN) 2016, menunjukan 1 dari 3 perempuan usia 15-64 tahun mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual oleh pasangan dan selain pasangan selama hidupnya, dan sekitar 1 dari 10 perempuan usia 15-64 tahun mengalaminya dalam 12 bulan terakhir.

KEKERASAN DAN/ATAU SEKSUAL CENDERUNG LEBIH TINGGI DIALAMI PEREMPUAN YANG TINGGAL DI DAERAH PERKOTAAN (36,3%) DIBANDINGKAN YANG TINGGAL DI DAERAH PEDESAAN (29,8%). REALITA SEPERTI INI MERUPAKAN CERMINAN BAHWA KEJAHATAN SEKSUAL MASIH BANYAK TERJADI KARENA BEBERAPA FACTOR, DIANTARANYA: KESADARAN HUKUM YANG LEMAH, PEMAHAMAN AGAMA YANG KURANG, PENDIDIKAN SEKSUAL YANG MINIM, JUGA INSTRUMENT HUKUM YANG BELUM BISA MENCERMINKAN KEADILAN BAIK BAGI PELAKU MAUPUN KORBAN.

Kemunculan RUU PKS dengan ideology feminism radikalnya bukan merupakan solusi yang tepat dalam meredam track record kejahatan seksual di Negara ini, sebab dari segi judulnya saja sudah obscuur dan menjerat. Penghapusan Kekerasan Seksual menjadi gimmick para kaum feminism radikal untuk memaksa para pihak agar setuju dengan RUU PKS, karena menolak RUU PKS sama dengan pro terhadap kekerasan seksual. Namun jika ditinjau dari segi hukum justru kalimat Penghapusan Kekerasan Seksual itu menjadi kabur dan tidak jelas, sedangkan muatan hukum dalam Undang-Undang harus memberikan kejelasan dan kepastian hukum.

Mahkamah Konstitusi RI pernah menguji pasal-pasal asusila dalam KUHP, dimana waktu itu para pemohon judicial review memohon agar tafsir zina dalam KUHP diperluas tidak hanya terbatas pada orang yang memiliki ikatan perkawinan, beberapa pihak terkait haluan liberal menyuarakan bahwa hubungan seksual merupakan wilayah private dimana negara tidak bisa ikut campur di dalamnya.

Sekarang orang-orang ini mencoba merumuskan supaya Negara mengatur hubungan seksual yang dulu mereka katakana sebagai wilayah private dengan di awali kata Penghapusan dan mengimbuhkan kata Kekerasan, sehingga “seksual” yang asalnya wilayah private mereka paksa menjadi wilayah publik, dimana hukum pidana adalah hukum publik.

Ini merupakan hal yang sangat keji, terlebih lagi tujuan dari RUU PKS adalah menjadikan tubuh perempuan menjadi suatu hal yang bebas, bisa digunakan untuk kepentingan apapun, dan siapapun yang membatasi dapat dikenakan delik pidana.

Hal seperti ini seolah-olah akan meredam kekerasan seksual, sedangkan di sisi lain hal ini akan menyebabkan keutuhan keluarga rusak karena bebasnya perselingkuhan sehingga mengakibatkan maraknya perceraian, begitupun dengan generasi bangsa yang mereka bebas menggunakan tubuhnya tanpa batas relasi gender atau relasi kuasa, sehingga akan menaikan tingkat pengidap penyakit HIV / AIDS di Indonesia.

Ideologi feminism radikal yang masuk dalam RUU PKS ini juga tertuang dalam pasal 8 ayat (1) huruf d, dimana perekrutan, penempatan dan promosi jabatan Pejabat Publik harus menandatangani komitmen anti kekerasan seksual, secara kasat mata pasal ini harus diterima.

Maka jika draft komitmen anti kekerasan seksual nya di dasarkan pada Feminism Legal Theory dimana tubuh perempuan merupakan suatu hal yang bebas, maka sejak itupun semua pejabat public kita, harus dan di paksa pro terhadap seks bebas dan penyimpangan seksual seperti LGBT.

Penghapusan Kekerasan Seksual juga sangat tidak layak dijadikan Undang-Undang Pidana, sebab kata Penghapusan tidak ada dalam kamus Hukum Pidana manapun di dunia ini. adapaun kata Kekerasan hanya layak dijadikan “unsur”, yang artinya penggunaannya untuk hal yang bersifat khusus dan terbatas, sedangkan judul sebuah Undang-Undang harus luas dan komprehensif menyentuh semua segmentasi yang diatur dalam UU tersebut.

Di sisi lain dalam RUU PKS seorang terpidana kejahatanseksual selain dari pada menjalani hukuman penjara juga menjalani hukuman tambahan, bahkan mereka juga dituntut untuk memberikan ganti rugi materil dan imateril terhadap korban sebagai sebuah kesatuan dari vonis pidana.

Pemidanaan dalam RUU PKS pun mewajibkan pemberatan pidana jika pelaku kejahatan seksual memiliki kedudukan social atau pekerjaan, apakah ia sebagai tokoh agama, tokoh adat, tokoh masyarakat, atau seorang atasan kerja.

Hal Ini mencerminkan bahwa jenis RUU PKS merupakan RUU Pidana, yang jika diundangkan maka menjadi bagian dari Undang-Undang Pidana bahkan mungkin menjadi sebuah tindak pidana khusus.

Efeknya adalah berlaku asas Lex specialis derogat legi generali, dimana RUU PKS ini akan mengesampingkan ketentuan pidana, dan ketentuan hukum lainnya yang diatur dalam Undang-Undang yang bersifat umum.

Contoh nya dalam UU Perkawinan No 1 Tahun 1974 dilarang menikah berbeda agama, sedangkan dalam RUU PKS pemaksaan perkawinan adalah tindak pidana, maka ketentuan hukum yang dipakai adalah ketentuan dalam RUU PKS, pasal larangan dalam UU Perkawinan harus dikesampingkan, hal ini juga merupakan ideology feminism radikal yang merasuk dalam RUU PKS yang harus dilawan dan ditolak.

Oleh sebab itu RUU PKS ini hanya tinggal memiliki dua pilihan, yaitu mengganti jenisnya menjadi UU Administrasi dengan menghapus ketentuan pidana atau merubah judulnya menjadi RUU Tindak Pidana Kejahatan Seksual.

Jika tidak mau mengambil dari kedua pilihan tersebut maka RUU PKS ini harus ditolak sampai ke akar-akarnya dan dibuatkan semacam counter legal drafting sebagai sebuah solusi ketiga.

*Penulis adalah warga kota Bandung, Praktisi Hukum di Kantor LBH Persis dan LBH Ponpes Darul Falah serta Aktif di Kantor Hukum Sachrial & Ikhwan.

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker