Balada KPK Dalam Perspektif Sosiologi Hukum

Seorang ahli sosiologi hukum, Soerjono Soekanto pernah mengemukakan bahwa penegakan hukum bukanlah semata-mata berarti pelaksanaan perundang-undangan, walaupun di dalam kenyataan di Indonesia kecenderungannya adalah demikian.

Selanjutnya Lawrence M. Friedman memberikan jawaban berhasil atau tidaknya Penegakan hukum  bergantung pada: Substansi Hukum (legal substance), Struktur Hukum/Pranata Hukum (legal structure) dan Budaya Hukum (legal culture).

Selain itu, ada kecendrungan yang kuat untuk mengartikan penegakan hukum sebagai pelaksanaan keputusan-keputusan hakim. Perlu dicatat, bahwa pendapat-pendapat yang agak sempit tersebut mempunyai kelemahan, apabila pelaksanaan perundang-undangan atau keputusan-keputusan hakim tersebut malah mengganggu kedamaian di dalam pergaulan hidup.

Bertalian dengan proses penegakan hukum (law enforcement) khususnya penegakan hukum tindak pidana korupsi. Beragam upaya pemberantasan korupsi yang telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia nyatanya belum sepenuhnya efektif dan membuahkan hasil memuaskan.

Dengan banyaknya peraturan yang mengatur mengenai tindak pidana korupsi ternyata tidak menjamin berkurangnya perkara korupsi di negeri ini.  Bahkan tragisnya Lembaga Anti Rasuah atau yang kita kenal dengan Komisi Pemberantas Korupsi, yang merupakan salah satu lembaga yang memiliki tupoksi memberantas korupsi, seakan dibuat tidak berdaya menghadapi tekanan dari beberapa pihak. Oleh karena itu hukum yang baik tentu tidak akan ada gunanya apabila tidak ditegakkan, hal ini sejalan dengan keberadaan peraturan.

Ditinjau dari Perspektif sosiologi hukum, proses penegakan hukum yang inkonsisten dan tidak transparan pada akhirnya turut berpengaruh pada tingkat kepercayaan (trust) masyarakat terhadap hukum dan aparaturnya. Hal tersebut kemudian memicu asumsi publik bahwa hukum tidak dapat dipercaya lagi sebagai sarana penyelesaian konflik, selanjutnya, bukan tidak mungkin ada pihak-pihak lain yang memanfaatkan inkonsistensi penegak hukum tersebut demi kepentinganya sendiri maupun golongannya.

Apabila kita menyandingkan kejadian sekarang dengan kejadian tempo dulu, rasanya kontradiktif sebagaimana kita ketahui salah satu agenda reformasi hukum yang penting dan mendesak (crucial) untuk dilaksanakan adalah reformasi dalam penegakan hukumnya.

Selanjutnya apabil a kita mengkaitkannya dalam lingkup penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi, sudah tidak perlu ditegaskan lagi korupsi adalah masalah utama bangsa kita. Tentu saja masih banyak masalah bangsa lain.

Akan tetapi korupsi adalah akar masalahnya. Dengan demikian adanya asumsi kemerdekaan kita dirampas oleh koruptor benar adanya. Negara ini telah merdeka, namun efek pembangunan belum dirasakan oleh banyak warga bangsa, karena korupsi yang merajalela.

Komisi Pemberantasan Korupsi yang merupakan lembaga dengan tupoksinya memberantas korupsi seakan dibuat tidak berdaya menghadapi tekanan dari beberapa pihak. Hal tersebut didukung data di lapangan bahwa beberapa tantangan yang dihadapi diantaranya yakni : Pertama, Melumpuhkan kapasitas dan merusak kredibilitas sumber daya manusianya; Kedua, menghancurkan eksistensi kelembagaannya Ketiga, menyabotase program pemberantasan korupsi.

Pada era pemerintahan Jokowi, wacana perubahan undang-undang KPK tercantum kembali sebagai salah satu daftar rencana prolegnas 2016. Dalam hal ini Prof Saldi Isra memberikan telaah secara mendalam terkait revisi UU No 30/2002 yang sejatinya empat substansi revisi: (1) keinginan pembentukan dewan pengawas KPK; (2) Penyadapan dan penyitaan yang memerlukan izin dewan pengawas; (3) pemberian wewenang bagi KPK menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan; dan (4) pengangkatan penyidik independen. Secara tegas dapat dikatakan bahwa beberapa substansi tersebut telah merontokan kewenangan KPK dalam memberantas korupsi dan tentunya mempunyai dampak pada tidak efektifnya dalam pemberantasan korupsi.

Selain itu tantangan yang didapatkan oleh KPK adalah upaya-upaya pelemahan terhadap KPK berlanjut yang puncaknya pada tahun 2017.

Dewan Perwakilan Rakyat menggunakan hak angketnya untuk diarahkan terhadap KPK. Jika dianalisis bahwa Pasal 79 UU No 17 Tahun 2014 yang bunyinya hak angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu UU dan/atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan masyarakat dan bertentangan dengan perundang-undangan. Dengan demikian sudah jelas, hak angket seharusnya ditujukan kepada pemerintah, bukan lembaga penegak hukum independen seperti KPK. Namun Penggunaan hak angket terhadap KPK salah alamat dan menunjukkan bahwa tekanan politik menguat ketika KPK mengusut kasus e-KTP yang diduga melibatkan anggota dan pimpinan DPR.

Berdasarkan data lapangan yang diuraikan di atas terlihat jelas bahwa tantangan berupa upaya-upaya pelemahan terhadap KPK dapat dikatakan bermuatan unsur politis. DPR sebagai lembaga yang mendapatkan mandat langsung oleh rakyat seyogyanya mendukung sepenuhnya proses penegakan hukum (law enforcement) yang dilakukan KPK, bukan malah sebaliknya menghancurkan Lembaga Anti Rasuah secara perlahan hingga tak ada maungnya.

Disini kita dapat menelaah bahwa dengan tidak adanya dukungan dari DPR terhadap KPK, telah terjadi kesenjangan hukum (Legal Gap), yang kemungkinan akan membuat para pelaku koruptif semakin menikmati.

Sejalan dengan apa yang telah dikemukan sebelumnya, bahwa Dewan Perwakilan Rakyat sebagai sebuah lembaga yang mendapatkan mandat langsung dari rakyat, seharusnya mendukung sepenuhnya proses penegakan hukum (law enforcement) yang dilakukan KPK dalam membasmi korupsi. Dewan Perwakilan Rakyat malah menjadi sebuah lembaga yang paling korup diakibatkan ulah beberapa oknum yang menyalahgunakan kedudukan (abuse of power)

Jika ditinjau dari perspektif sosiologi hukum, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berdiri berdasarkan UU No. 30 Tahun 2002, merupakan salah satu anak kandung reformasi sebagaimana tuntutan pendirian lembaga ini muncul akibat kegundahan publik akan lemahnya kinerja 3 (tiga) penegak hukum di Indonesia yaitu Polisi, Jaksa dan Hakim dalam menangani dan memberantas korupsi yang makin merajalela. Mereka seolah tidak berfungsi dalam hal ini, para koruptor seperti tidak ditindak semestinya, bahkan seolah malah dijadikan tambang emas oleh para penegak hukum.

Salah satu amanat Reformasi 98 adalah Pemberantasan Korupsi, akan tetapi secara realitas menunjukan bahwa korupsi justru makin menggila. Bahkan ada pameo demikian: Di jaman Orde Lama korupsi terjadi di bawah meja alias sembunyi-sembunyi, Di era Orde Baru korupsi terjadi di atas meja alias mulai terang terangan nah di jaman Reformasi ini bahkan semeja-mejanya diangkut…he…he. Jadi bukannya semakin menurun tetapi malah semakin menjadi-jadi dengan jumlah uang yang dikorup semakin besar pula. Ditinjau dari substansi, struktur, dan budaya, banyaknya kelemahan sehingga hukum itu tidak tegak dan bertentangan dengan tujuan dari penegakan hukum itu sendiri yaitu, memberikan kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan. Oleh karena itu seyogyanya segenap bangsa Indonesia wajib memberikan harapan dan dukungan dalam bentuk apapun terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi dalam hal membasmi tindakan koruptif yang semakin merajalela.

Oleh: Adam Setiawan
Mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia

Editor
Muhammad Saleh
Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker