KPK Perkirakan Pada 2019 Negara Mengalami Kerugian Rp200 Triliun

Abadikini.com, JAKARTA- Komisi Pemberantasan Korupsi mengisyaratkan akan makin banyak kasus korupsi yang dibongkar KPK pada 2019.

Wakil ketua KPK, Saut Situmorang, mengatakan hal ini didasarkan pada perkiraan masih banyak korupsi yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, sementara nilai APBN pada 2019 lebih dari Rp2.165 triliun. Saut mengatakan kalau proporsi yang dikorupsi 10%, berarti nilai kerugian negara sekitar Rp200 triliun dalam satu tahun.

“Bagaimana KPK harus jaga tempat-tempat di mana kerugian negara bisa muncul … karena nilai APBN-nya makin besar, common sense -nya adalah kami akan lebih banyak melakukan penindakan,” kata Saut dalam wawancara dengan BBC News Indonesia.

“Kami targetkan (tahun 2018) bisa mengungkap 100 kasus, tapi kami membongkar lebih dari 100. Ke depan (2019) kami punya target 200 kasus, biasanya kami bisa melampaui target.”

“Apakah proses penindakan itu melalui operasi tangkap tangan (OTT) atau pengembangan kasus, itu semua tergantung dengan probabilitas apakah kami akan mendapatkan bukti-bukti awal,” jelas Saut.

Ia mengatakan OTT lebih banyak ditentukan oleh kelengkapan informasi. KPK menerima sekitar 7.000 surat per tahun dari masyarakat yang melaporkan dugaan praktik korupsi.

Dari jumlah tersebut, ada yang berasal dari orang-orang terdekat, yang menurut KPK biasanya memiliki bobot informasi yang lebih valid dan lebih kuat. Saut mengatakan kelengkapan informasi sangat penting dalam menentukan penindakan suatu kasus.

“Kami geregetan dengan beberapa kasus korupsi di daerah, tapi karena informasi dan bukti yang kami terima belum lengkap, kami tak bisa melakukan penindakan,” kata Saut.

Ia mengatakan memang dalam OTT ada “unsur kejutan dan lebih menggetar”, tapi ini bukan pertimbangan utama KPK.

“Kami tak pernah beripikir itu (mengutamakan OTT). (Pertimbangan kami) hanya kelengkapan informasi,” kata Saut.

OTT Terbanyak dalam Sejarah

Sepanjang 2018 KPK melakukan setidaknya 30 OTT. Yang disasar mulai dari pejabat kementerian, anggota DPR, hingga kepala daerah.

Mereka yang terjaring OTT antara lain adalah beberapa pejabat di lingkungan Kemenpora, Kementerian PUPR, anggota DPR Eni Saragih yang ditangkap saat berada di rumah Idrus Marham yang ketika itu menjabat sebagai menteri sosial, dan Gubernur Aceh Irwandi Yusuf.

OTT juga menyasar sejumlah kepada daerah tingkat dua, di antaranya Tasdi (bupati Purbalingga, Jawa Tengah), Sunjaya Purwadi Sastra (bupati Cirebon, Jawa Barat), Irvan Rivano Muchtar (bupati Cianjur, Jawa Barat), Muh Samanhudi Anwir (wali kota Blitar, Jawa Timur, dan Syahri Mulyo (bupati Tulungagung, Jawa Timur). KPK menyebut OTT pada 2018 adalah yang paling banyak dilakukan sejak pendirian KPK.

Peneliti Indonesian Corruption Watch (ICW), Lalola Esther, mengatakan pihaknya mengapresiasi langkah KPK dalam melakukan penindakan kasus-kasus korupsi. Tapi ia juga meminta KPK untuk secara paralel melakukan pencegahan dan monitoring (pemantauan).

“Pada 2017 dan 2018, KPK banyak mengungkap kasus yang melibatkan kepala daerah. Ini menandakan (KPK) ada fokus, tapi di sisi lain, kami mengharapkan KPK melaksanakan sisi monitoring ,” kata Lalola.

“Ini bisa dilakukan dengan membangun kerja sama dengan Kementerian Dalam Negeri, bagaimana membuat mekanisme yang lebih akuntabel, transparan, dan partisipatif, untuk mencegah korupsi yang dilakukan oleh kepala daerah. Atau beranjak ke reformasi pendanaan partai politik,” katanya.

“Sudah saatnya KPK menyasar ke hal-hal yang sifatnya lebih mendasar. Agar tak terkesan KPK seperti pemadam kebakaran, ketika ada korupsi, baru ditangani secara hukum … KPK bisa mengambil inisiatif yang lebih besar dalam membangun sistem untuk mencegah korupsi di lembaga-lembaga negara,” kata Lalola.

“Ini harus menjadi fokus kerja KPK ke depan,” katanya.

OTT `tak diperlukan lagi`

Anggota Komisi III DPR, yang antara lain membidangi penanganan korupsi, Akbar Faizal, mengatakan kalau OTT dimaksudkan untuk memberikan efek kejut, yang dilakukan KPK lebih dari cukup.

“Untuk memberi efek kejut, sudah lebih dari cukup. Lebih dari cukup,” kata Akbar.

Ia juga mempertanyakan mengapa dalam beberapa kasus, ketika tidak ditemukan barang bukti berupa uang, KPK masih menyebutnya sebagai OTT.

“Mengapa KPK dengan mudah memakai istilah OTT, mengapa tidak memakai istilah lain, misalnya pengembangan kasus. Tapi memang masyarakat suka dengan istilah OTT. Setiap kali ada OTT, ada sensasi yang muncul di situ,” kata Akbar.

Ia mengatakan sangat terpukul setiap kali ada OTT yang melibatkan anggota DPR, sampai ia mengusulkan agar fungsi anggaran (bujeter) yang dimiliki DPR dihapus saja kalau fungsi ini menjadi celah bagi anggota DPR melakukan korupsi. Ia mengusulkan agar KPK juga fokus ke pencegahan.

“KPK mengatakan kepada kami, mereka sudah melakukan pencegahan. Menjadi masalah kalau dikatakan sudah melakukan pencegahan secara optimal, tapi nyatanya masih banyak korupsi,” kata Akbar.

Wakil ketua KPK Saut Situmorang pihaknya sudah melakukan fungsi-fungsi pencegahan, antara lain dengan menyediakan portal khusus di situs resmi KPK, yang bisa dimanfaatkan oleh kementerian dan pemerintah daerah dalam mencegah kemungkinan terjadinya korupsi. Ia juga mengatakan, dalam beberapa kasus OTT kepala daerah, KPK sudah melakukan fungsi pencegahan.

“Kami bilang jangan begini, jangan begitu, mereka bilang, `Ya Pak, ya Pak`, begitu kami pulang ke Jakarta, mereka melakukan korupsi,” kata Saut. (ak/viva)

Baca Juga

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker