Parpol Sumber Korupsi

Abadikini.com, JAKARTA – Sedikitnya 545 atau 61% dari aktor korupsi yang dijerat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah anggota DPR, DPRD provinsi, kabupaten, dan kota, serta para kepala daerah yang diusung partai politik (parpol). Tepat apabila KPK pada Konferensi Nasional Pemberantasan Korupsi, 4 Desember 2018, mengusung tema “Mewujudkan Sistem Integritas Parpol di Indonesia”. Parpol di Indonesia masih menjadi sumber korupsi dan bungker para koruptor.

Besarnya peran parpol sebagai penghasil koruptor menyebabkan Indeks Persepsi Korupsi stagnan di peringkat 37. Jika pengelolaan negara di negeri ini ingin bersih dari anasir korupsi, langkah awal yang harus dilakukan adalah membersihkan parpol dari tangan koruptor.

Kasus terbaru operasi tangkap tangan (OTT) dilakukan KPK terhadap kader Partai Demokrat, Remigo Yolanda Berutu, Sabtu (17/11/2018). Bupati Pakpak Bharat, Provinsi Sumatera Utara itu telah ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan suap terkait pemulusan sejumlah proyek Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) di lingkungan Pemerintah Kabupaten Pakpak Bharat.

Penangkapan Remigo menambah panjang daftar aktor politik yang ditangkap KPK. Data selama empat tahun terakhir menunjukkan politikus makin korup. Data KPK pada pertengahan Agustus 2018 memperlihatkan sejak 2014 hingga saat ini aktor politik yang ditangkap dan terbukti korupsi meningkat tajam. Dari total 205 koruptor yang berprofesi anggota DPR dan DPRD, sebanyak 132 (64,4%) orang ditangkap dalam kurun waktu tersebut. Sebanyak 54 bupati dan wali kota atau 62 persen dari total 87 bupati atau wali kota yang terlibat kasus korupsi ditangkap KPK dalam empat tahun terakhir. Sebagian besar dari mereka terbukti menerima suap.

Peneliti Pusat Kajian Anti (Pukat) Korupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Zaenur Rohman, menyatakan sampai saat ini parpol tak bisa hidup dari iuran anggota. Oleh karena itu, parpol menggunakan kekuasaan yang dimilikinya di pemerintahan sebagai salah satu sumber pendanaan politik. “Untuk memperbaiki parpol, ide pendanaan oleh negara bersama parpol, patut dipertimbangkan, tetapi dengan syarat yang ketat,” katanya ketika dihubungi , Minggu (25/11/2018).

Senada dengannya, pengamat politik dari Exposit Strategic, Arif Susanto, menyatakan perilaku korup politikus tak lepas dari berbagai kelemahan di tubuh parpol. Hal ini ditandai oleh memusatnya kendali di tangan elite, rendahnya otonomi kelembagaan, dan minimnya integritas sistem.

Selain itu, lemahnya komunikasi politik antara elite dengan massa di tengah orientasi berlebihan pada kemenangan elektoral, ikut mendorong politikus korup. “Ketika tidak terdapat keterikatan politik kukuh antara elite dan massa, politik uang pun dipandang menjadi cara efektif untuk mendulang suara. Parahnya, biaya politik tinggi tersebut didanai melalui korupsi,” katanya.

Peneliti dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lusius Karus menyatakan korupsi politik terjadi akibat oligarki parpol yang ditandai dengan semangat menjadikan partai seolah-olah aset milik perseorangan. Sebagai aset, parpol didirikan atau diperebutkan oleh orang-orang yang punya modal berlimpah. Agar bisa mendapatkan tempat di jajaran elite, seseorang harus memiliki modal yang cukup. Mereka yang tak punya modal, umumnya hanya menjadi “karyawan partai”. Karyawan-karyawan ini pada saatnya juga harus mempunyai modal dengan memanfaatkan posisi mereka di parpol. Alhasil, lingkaran elite akan sibuk mengumpulkan harta demi tetap bisa menduduki jabatan empuk di parpol.

“Ketika seseorang mempunyai kekuasaan di parpol, maka dia dituntut untuk terus mempertahankan kekuasaannya. Lagi-lagi dia dipaksa harus bisa mempunyai harta untuk itu. Jabatan atau pengaruhnya di parpol dimanfaatkan untuk mencari modal. Korupsi merupakan cara termudah untuk menjawab tuntutan kepemilikan harta para politisi itu,” tegasnya.

Akibatnya, ‎praktik korupsi yang beranak-pinak dilakukan para politikus. Dalam lingkaran korupsi itu, sangat sulit mengharapkan parpol mengembangkan sisi idealisme. Kalaupun ideologi dibuat untuk mengesankan idealisme partai, itu lebih sebagai aksesori, sekaligus tameng untuk mengamankan perilaku korupsi politikus.

“Karena korupsi itu tidak lagi semata-mata sebagai aksi individu politikus, maka cukup sulit mengharapkan pemberantasannya melalui pembenahan regulasi. Kuasa legislasi juga tunduk pada rezim parpol yang korup. Yang terjadi malah mereka berupaya untuk menghapus regulasi yang menghambat aksi korupsinya. Perubahan hanya mungkin melalui revolusi menyeluruh, khususnya terhadap ketentuan tata kelola parpol. Ini harus dimulai dari bawah, dari akar rumput. Mengharapkan para elite mengubah aturan agar bebas dari korupsi, jelas hanya fatamorgana,” tutup Lusius.

Pakar tindak pidana pencucian uang (TPPU) dari Universitas Trisakti Jakarta, Yenti Garnasih menyatakan maraknya aktor politik yang terjerat korupsi karena sistem politik di Indonesia masih membuka ruang terjadinya praktik korupsi. Ruang terjadinya praktik korupsi terjadi sejak awal seseorang bergabung dengan parpol. ”Dalam sistem pemilu, yakni pilkada, pileg, bahkan pilpres, harus ada kontribusi dari para kader dan pengurus,” katanya.

Ruang terjadinya praktik korupsi terus berlanjut ketika seseorang ingin mencalonkan diri sebagai penyelenggara negara, baik kepala daerah, maupun anggota legislatif. Para calon harus menyiapkan dana untuk disetor ke partai atau yang dikenal dengan istilah mahar politik.

“Mahar politik sebenarnya dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi. Calon yang menyetor untuk mendapat tiket dukungan dari partai dapat dikategorikan sebagai penyuapan, sementara partai yang meminta mahar dapat dijerat dengan pemerasan.

Besarnya kewenangan parpol, lanjut Yenti, juga memicu korupsi politik. “Partai politik menjadi satu-satunya organisasi yang dapat mencalonkan kepala daerah, anggota legislatif, bahkan presiden. Dengan demikian, kepala daerah maupun legislator berasal dari partai politik. Akibatnya, tidak ada kontrol dari legislator kepada kepala daerah karena sama-sama berasal dari partai politik,” katanya.

Korupsi di sektor politik sebenarnya bisa dicegah dengan menerapkan pasal tindak pidana pencucian uang. Dengan pasal tersebut, partai politik yang menerima aliran dana dari hasil korupsi bisa dijerat. Namun, Yenti menyayangkan pasal TPPU belum diterapkan secara maksimal.

Pendidikan Kader

Menanggapi banyaknya politikus yang terjaring KPK, Mendagri Tjahjo Kumolo menyatakan pihaknya selalu mengimbau parpol melakukan pendidikan kader secara maksimal. Apalagi, dana bantuan keuangan parpol telah dinaikkan.

“Kemdagri senantiasa mendorong parpol dalam aspek akuntabilitas dan transparansi terhadap pengelolaan bantuan keuangan yang diberikan oleh negara untuk digunakan sesuai dengan mekanisme aturan dan regulasi yang ada,” katanya saat dihubungi SP, Senin (26/11).

Dikatakan, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1/2018 tentang Bantuan Keuangan Parpol sudah diterbitkan. Dana bagi parpol yang memiliki kursi di DPR kini menjadi Rp 1.000 per suara sah nasional, sebelumnya, hanya Rp 108 per suara. Melalui kenaikan itu, parpol sepatutnya menjalankan fungsinya dengan baik, yakni memberikan pendidikan politik yang maksimal kepada setiap kader serta melakukan proses perekrutan dan kaderisasi yang optimal. Dengan begitu, parpol mendapat kader partai terbaik yang jauh dari aspek penyimpangan, khususnya korupsi.

Saat ditanya pertanggungjawaban parpol atas dana bantuan yang diberikan pemerintah, Tjahjo menyatakan selama ini parpol rutin menyampaikan laporan pertanggungjawaban (LPJ) ke Kemdagri dan sampai saat ini relatif tidak ada masalah.

Filosofinya, lanjut Tjahjo, bantuan keuangan merupakan hak parpol. Kedudukan pemerintah tidak lagi sebagai pembina parpol. “Tidak lagi superior seperti zaman dulu, sehingga Kemdagri dan pemerintah daerah sifatnya sebagai fasilitator saja. Kemdagri secara rutin melakukan komunikasi yang efektif dengan parpol terkait bantuan keuangan,” katanya.

Secara terpisah, Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kemdagri, Soedarmo, menjelaskan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mempunyai waktu tiga bulan untuk melaksanakan pemeriksaan terhadap LPJ masing-masing parpol. Hasil pemeriksaan diberikan kepada parpol dengan tembusan ke Kemdagri, termasuk pemerintah daerah atas penggunaan dana dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). “Hasil pemeriksaan itu kita jadikan dasar untuk memberikan anggaran pada tahun berikutnya,” jelasnya.

Dikatakan, LPJ paling lambat diserahkan setiap 31 Januari. Pemeriksaan oleh BPK berlangsung pada Februari-Maret. “Kalau parpol tidak berikan pertanggungjawaban sampai batas akhir yang sudah ditentukan peraturan, maka mereka tentunya tidak akan mendapatkan bantuan pada tahun berikutnya,” katanya.

Sampai saat ini, lanjutnya, masih terdapat sejumlah catatan yang harus diperbaiki parpol. Salah satunya menyangkut penggunaan bantuan untuk kesekretariatan. “Kan penggunaannya itu 60% pendidikan politik, 40% operasional kesekretariatan. Kadang-kadang mereka gunakan untuk yang lain, seperti bayar listrik,” ungkapnya.

Meski begitu, secara umum tidak ada permasalahan mengenai LPJ bantuan keuangan. “Parpol tak akan berani menyelewengkan bantuan yang bersumber dari APBN dan APBD,” katanya.

Integritas Parpol

Sementara itu, KPK akan melibatkan 16 parpol dalam Konferensi Nasional Pemberantasan Korupsi (KNPK) XIII pada 4 Desember 2018 di Jakarta. “Berangkat dari pemahaman pentingnya persepsi dan gerakan bersama dalam pemberantasan korupsi yang juga perlu melibatkan partai politik maka sebagai bagian dari rangkaian kegiatan Hari Antikorupsi 2018, KPK kembali menyelenggarakan KNPK,” kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, pekan lalu.

Tema KNPK tahun ini adalah “Mewujudkan Sistem Integritas Partai Politik di Indonesia”. “Ini merupakan KNPK pertama setelah dilaksanakan 12 kali sebelumnya yang menempatkan partai politik sebagai perhatian utama,” ucap Febri.

Data penanganan perkara KPK menunjukkan sampai saat ini sekitar 61,17% pelaku diproses dalam kasus korupsi yang berdimensi politik. “Hal ini tentu saja sangat disesalkan. Jika boleh berharap, ke depan jumlah pelaku korupsi tidak perlu bertambah lagi,” ujarnya.

Lebih jauh Febri menyatakan berdasarkan data Indeks Persepsi Korupsi tahun 2017 yang dirilis oleh Transparency International (TI), Indonesia stagnan di posisi 37. Untuk memperbaiki posisi tersebut, 16 parpol yang mengikuti Pemilu 2019 berperan penting dalam menghasilkan wakil-wakil rakyat, presiden, dan wakil presiden yang berkualitas dan berintegritas untuk memimpin Indonesia lima tahun ke depan.

“Tahun depan dalam Pemilu 2019, kedudukan parpol makin strategis. Selain karena parpol sebagai satu-satunya pengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden, para calon yang akan mengisi kursi DPR dan DPRD juga berasal dari parpol,” katanya.

Sistem Integritas Parpol

Pada kesempatan itu, Febri juga menyatakan berdasarkan hasil kajian KPK bersama LIPI direkomendasikan agar dibangun sistem integritas parpol yang merupakan perangkat kebijakan yang dibangun oleh parpol. Sistem tersebut diharapkan menghasilkan calon pemimpin yang berintegritas, sekaligus meminimalkan risiko korupsi politik dan penyalahgunaan kekuasaan.

Sebelumnya, KPK telah mengidentifikasi empat masalah utama yang menyebabkan kurangnya integritas parpol. Pertama, tidak ada standar etika politik dan politisi. Kedua, sistem perekrutan politik yang tidak berstandar. Ketiga, sistem kaderisasi berjenjang dan belum terlembaga. Keempat, kecilnya pendanaan parpol dari pemerintah.

“KPK berharap para ketua umum parpol dapat hadir dalam kegiatan KNPK dan duduk bersama dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Kehadiran unsur pimpinan parpol dan komitmen yang utuh untuk melakukan perbaikan ke dalam sangat diperlukan untuk mengukuhkan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia,” tegasnya. (dor.ak)

Sumber:beritasatu

Baca Juga

Berita Terkait
Close
Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker