Jimly: Kalau Masih Ketua MK, Gugatan PT Saya Kabulkan

Abadikini.com, JAKARTA – Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Jimly Asshiddiqie mengibaratkan presidential threshold (PT) alias ambang batas pencapresan dengan level hukum dalam Islam. Berstatus makruh, lebih baik ditinggalkan daripada dikerjakan.

“Bagi saya masuk akal saja angka 20 persen ini dievaluasi. Saya kan sudah mengatakan angka 20 persen ini makruh, cuma saya belum berani bilang haram,” kata Jimly dalam siaran persnya, Sabtu (14/7/2018).

Jimly berharap, pihak pemohon bisa mendapatkan fakta-fakta baru bahwa PT 20 persen tersebut terbukti menghambat demokrasi. Jimly berkelakar, jika ia masih menjabat hakim MK, maka dia akan mengabulkan gugatan para pemohon.

“Kalau saya hakimnya, saya kabulkan ini. Cuma kan saya sudah pensiun,” ujarnya.

Hal tersebut disampaikan Jimly dalam diskusi bulanan Policy Centre (Polcen) Pengurus Pusat Ikatan Alumni Universitas Indonesia (ILUNI UI), di  kampus UI Salemba, Jakarta Pusat, beberapa waktu lalu.

Selain Jimly, dalam diskusi yang dibuka Ketua Umum ILUNI UI Arief Budhy Hardono tersebut hadir juga sejumlah pembicara lainnya. Antara lain, peneliti politik pusat LIPI Romli dan dua penggugat presidential treshold ke MK yaitu mantan Komisioner KPU Hadar N Gumay dan Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini.

Pada kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini mengatakan bahwa persyaratan pengajuan capres oleh parpol maupun gabungan parpol menunjukkan ketidaksehatan sistem politik kita.

“Pemilihan Presiden 2019 dilakukan serentak bersamaan dengan pemilihan anggota legislatif baik DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kota atau Kabupaten. Ambang batas kursi 20 persen itu dipakai dengan mengacu hasil Pemilu 2014 lalu, adalah tidak adil. Sebab, Pemilu 2019 ini diikuti 16 parpol. 14 parpol yang ikut Pemilu 2014 dan 2 parpol baru,” tegasnya.

Untuk itu, kata Titi, sangat berbeda perlakuan dan diskriminatif terhadap parpol baru. Padahal, MK telah mengabulkan tuntutan bahwa partai lama juga harus melalui proses verifikasi KPU bersama dengan parpol baru untuk ikuti pemilu legislatif 2019 karena dengan dinamisnya kondisi parpol kelulusan di 2013 bisa berubah di 2018 perlu verifikasi lagi.

“Kok hasil pemilu legislatif 2014 digunakan untuk syarat pilpres 2019,” ucapnya.

Sementara itu, peneliti pusat politik LIPI, Lili Romli, mendukung gugatan uji materi atas presidential threshold 20 persen. Sebab, pencapresan tanpa syarat ambang batas sudah tercermin melalui bunyi UUD 1945.

Romli mempertanyakan mengapa terjadi penyimpangan dari Pasal 6A UUD 1945. Dirinya mengaku heran mengapa capres yang diusung gabungan partai dimaknai melalui persentase.

“Terjadi pembajakan dan penyimpangan dari pasal 6A UUD 1945 hasil amandemen itu. Bahwa presiden dan wapres diusulkan oleh partai atau gabungan partai politik, tetapi mengapa gabungan partai itu dimaknai dengan persentase,” katanya.

Selain itu, Romli mengatakan pasal 222 tentang PT di UU 7/2017 tentang Pemilu, cenderung diskriminatif untuk partai politik baru. Romli melihat jika presidential threshold 20 persen tetap dilanjutkan di Pilpres 2019, maka Indonesia tak hanya stagnan secara demokrasi namun akan terjadi kemunduran demokrasi.

Penggugat yang juga mantan Anggota KPU, Hadar Gumay menjelaskan, pada negara-negara yang menggunakan sistem serupa, tidak ada persyaratan batas suara bagi partai politik untuk mengajukan capres selama telah lolos persyaratan sebagai peserta pemilu. (bob.ak/rmol)

Baca Juga

Berita Terkait
Close
Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker