Berikut Tradisi Masyarakat Taiwan dalam Merayakan Imlek, Mulai dari Daging Babi sampai Tari Angkat Satu Kaki

Abadikini.com, JAKARTA – Yang disajikan bukan hanya makanan dan buah-buahan biasa, tetapi “barisan” babi dan ayam raksasa. Namun, “komandannya” ialah babi raksasa seberat hampir 1 ton, yang harus diangkut dengan kendaraan khusus.

Bagi  serdadu yang menang perang, babi-babi kurban itu “duduk” dengan gagah di atas bonggol kayu yang tertancap di atas kereta barang. Semua diarak di jalan-jalan desa yang sempit dan berdebu.

Pada dagingnya yang kemerahan tampak cap dinas pemeriksa daging dan kantor keuangan lokal. Artinya binatang-binatang itu secara resmi boleh dikorbankan. Rupanya untuk sesuatu yang sakral pun perlu kontrol sipil.

Setelah menghitung sampai tiga ratus ekor, saya berhenti. “Ini baru yang kecil-kecil. Babi-babi besar belum muncul,” kata pemimpin pesta.

Saat itu di Taiwan Selatan akan diadakan Pesta Da Baibai, pesta kurban besar, Pesta Tahun Baru Imlek. Pada waktu itu orang-orang yang percaya meminta kemurahan pada dewa dan arwah orang mati.

Pesta kurban besar yang terbesar dilakukan di Kuil Mazu, di Lu’ermen, beberapa kilometer sebelah utara Kota Tainan (Taiwan). Di sini selama tujuh hari orang bersembahyang kepada para dewa.

Mereka meminta perlindungan dari bahaya Taifun, para petani memohon hujan, meminta  kesejahteraan bagi menteri keuangan dan meminta perdamaian. Permintaan itu tertulis dengan tinta emas dan digantungkan di pintu masuk kuil.

Ratu surgawi Mazu, pelindung legendaris para pelaut dan nelayan, akan dipanggil. Asap kurban tampak menjulang menuju tempat peringatan Jenderal Ming, Zheng Chenggong atau yang dikenal oleh orang Eropa sebagai Koxinga.

Tiga ratus tahun yang lampau dia berhasil mengusir pemerintah kolonial Belanda dari pulau itu.

Di surga kepercayaan Tao konon banyak tersedia tempat. Dalam suatu pesta besar orang bisa berhubungan dengan 3.600 dewa.

Selain ada permintaan resmi, juga ada permintaan pribadi, seperti meminta usaha agar berhasil baik, bisa memperoleh anak laki-laki, utang dihapuskan dan tidak ada musuh dsb. Pendetalah yang menjadi perantara antara dunia sini dan sana.

Dari statistik sebelum tahun 1949, di Daratan Cina terdapat 300.000 kuil dengan penganut mencapai 55 juta lebih. Dalam kehidupan beragama, orang Cina tidak terlalu ketat.

Toleransi mereka begitu besar, sehingga mereka bisa menganut agama itu dan ini. Jadi statistik itu hanya bisa dipakai sebagai perkiraan, karena satu agama saja bisa luas penganutnya.

Yang jelas, rakyat lebih suka berpegang pada kepercayaan yang bisa menjamin. Bila dewa atau upacara-upacara kepercayaan yang bersangkutan sudah kehilangan pamornya, dalam waktu singkat akan dilepaskan begitu saja.

Ketika itu para wakil masing-masing kepercayaan itu berusaha menyesuaikan diri dengan selera publik. Mereka tidak mau ada risiko kehilangan peminat, yang juga berarti kehilangan dana.

Saat upacara dihentikan 1,5 jam untuk istirahat, saya berkesempatan berbincang-bincang dengan pendeta kepala, Chen, di kantin sederhana. Dia mengadakan pesta kurban di sebuah desa yang memiliki tiga ratus kepala keluarga, yang letaknya tidak jauh dari Kuil Mazu.

Salah seorang yang duduk semeja dengan kami adalah seorang medium berusia sekitar 45 tahun dengan wajah dan potongan tubuh seperti seorang petinju.

Dia sudah praktek sejak usia tujuh belas tahun, yaitu mengadakan kontak dengan berbagai roh, termasuk roh-roh orang terkenal seperti Sun Yat Sen atau putra-putra kaisar yang terkenal.  Untuk itu dia harus berada dalam trance.

Bila sedang dalam trance, tubuhnya akan bergoyang dengan kuat ke kiri dan kanan, menghantam meja dengan kedua tangannya dan menari dengan satu kaki.

Kadang-kadang dia menari sampai semalaman. Sesudah itu dia akan pingsan. Bila tidak pingsan atau jatuh, dia akan berkata-kata. Konon menurut orang yang pernah mengalaminya, dia mengucapkan syair zaman Tang.

“Saya tidak pernah menipu,” ujar medium dengan gembira sambil menenggak anggur. “Saya selalu memberikan jawaban bagi pertanyaan yang dilontarkan pada saya. Apa yang akan terjadi di masa depan pun akan saya katakan. Karena itu saya punya banyak teman, walaupun saya harus mengatakan yang tidak enak.”

Di luar, di depan kantin, tiba-tiba terdengar suara gemuruh petasan. “Suasana sekarang benar-benar hidup,” kata pemimpin pendeta.

Di lapangan kuil yang diterangi lampu warna-warni, sekitar lima puluh pemuda tampak sedang menari dengan membawa senjata seperti kapak, tombak, lembing dan pedang.

Suasana demikian ramai, sehingga musik yang diputar di sebuah stand disko yang letaknya tidak jauh dari kuil, hampir tidak terdengar.

Sementara itu di dalam kuil, pendeta kepala menyampaikan permintaan kepada dewa. Dia mengenakan jubah mewah berwarna jingga dan hijau dan pada topinya yang berwarna hitam tertancap kancing emas.

Dengan suara keras dia bernyanyi sambil mengelilingi altar. Di hadapannya berdiri para pendeta biasa, mengenakan jubah hitam. Masing-masing mereka memegang hio (lidi sembahyang).

Pada saat-saat tertentu mereka membungkukkan tubuhnya sebanyak tiga kali.


Mana kuil yang asli!

Di Taiwan, walau jumlah desa tidak sampai empat ribu, tapi jumlah kuil mencapai lima ribu buah. Tidak heran bila timbul persaingan yang hebat.

Bagaimana caranya masing-masing kuil itu menarik para peminat? Para pengurus kuil tersenyum mendengar pertanyaan itu. “Selera orang ‘kan berbeda-beda!” ujar seorang dari mereka.

“Yang penting reputasi pendetanya dan mewahnya pesta itu. Paling bagus kalau ada medium terkenal yang datang untuk meramal atau paling tidak ada sesuatu yang enak dilihat.”

Sebelum saya sempat menanyakan apa yang dimaksud dengan “yang enak buat mata” itu, mereka telah mengangkat gelas-gelas anggur. Si medium kemudian membagikan rokok. “Datanglah pada hari Rabu nanti,” pintanya.

“Saya mengundang Anda makan dan menari dengan satu kaki, bila diizinkan oleh dewa kami. Jangan lupa bawa kamera.”

Saya pun kembali ke kota. Seperti diketahui, banyak organisasi yang berusaha mengkoordinasikan penganut ajaran Tao. Saya mendatangi salah seorang pemimpin organisasi penganut Tao setempat, Bapak Guo.

“Di daerah Tainan ini kami melayani sekitar 600 kuil!” kata Guo. “Penganutnya berjumlah 7.500 dari 10.000 penduduk. Jadi jika penduduk ada 100.000 mungkin jumlah penganut Tao akan menjadi 75.000 orang.”

Namun, bagaimana pendapat dia mengenai popularitas penganut Tao yang begitu banyak sekarang ini?

Guo tersenyum, “Ada sebuah pepatah Cina kuno, yang bunyinya demikian: orang miskin biasanya mencari tahu tentang nasibnya, sedangkan orang kaya mencari roh. Maksudnya, bila ada orang miskin dia akan mencari peramal untuk menanyakan nasibnya, kapan bisa menjadi kaya. Sedangkan orang kaya biasanya takut mati, sehingga dia cepat-cepat ingin mengadakan  perjanjian dengan roh agar bisa dibebaskan dari kematian.”

Saat pamit Guo memberikan hadiah dan brosur aktivitas organisasinya. “Jangan lupa,” katanya ketika akan berpisah, “pengetahuan kami mempunyai tradisi yang panjang. Pertama kali masuk ke Taiwan di zaman Ming, dengan jenderalnya yang terkenal, Sheng Chenggong. Dia mendarat dekat sini, di Kuil Lu’ermen, tempat yang mempunyai sejarah besar.”

“Namun, saya dengar ada dua kuil yang mengaku sebagai Lu’ermen asli,” kata saya.

“Di mana ada kebenaran pasti ada kepalsuan. Dan jangan lupa, kami penganut Tao, memiliki tradisi ilmu pengetahuan yang sudah sangat tua. Lebih tua dari kebudayaan Barat. Usia ilmu pengetahuan kami sudah 2.341 tahun.

Perdebatan kedua kuil yang mengaku sebagai tempat asli pendaratan Jenderal Sheng Chenggong, sudah berlangsung tahunan. Para ahli sudah berusaha menyelesaikan pertikaian itu secara alamiah.

Sulitnya, pelacakan menjadi rumit, karena dalam perjalanan ratusan tahun, arah aliran sungai dan pantai sudah banyak yang mengalami perubahan.

Su Nazheng, wali kota Tainan yang populer, untuk semen tara ini berhasil mengatasi pertikaian itu, yaitu dengan memutuskan agar kedua kuil itu mengadakan pesta besar di masing-masing kuilnya.

Di sini kemungkinan tercipta saling pengertian yang lebih baik. Kedua kuil akan berusaha  menarik para pengunjung dan penyumbang yang lebih banyak.

Kuil raksasa itu terletak di daerah yang tenang di bawah sinar matahari musim dingin. Tamannya yang besar dan kosong membuat suasana semakin melankolis.

Baru saja saya turun dari kendaraan, dari pengeras suara raksasa terdengar kata-kata sambutan: “Inilah Kuil Lu’ermen yang asli, yang sudah dibuktikan secara ilmiah ”

Di desa kecil tempat saya diundang makan oleh medium, dalam pesta kurban tidak ada pemisahan antara unsur tradisional, nasional, komersial. Rupanya, supaya pesta berhasil, unsur di dalam maupun di luar kuil harus tetap ada.

Yang pokok, para dewa dan arwah orang mati harus berjalan bersama. Di ladang tebu yang sudah dipanen, yang luasnya empat kali lapangan bola, para keluarga di desa mendirikan altar persembahan bagi orang yang sudah meninggal.

Semuanya ada sekitar 50 deret meja, yang lebarnya mencapai 2 m sepanjang 40 m. Meja-meja itu penuh dengan makanan dan pada setiap ujung deretan terdapat kurban babi.

Pada ujung lain dari deretan itu, yang konon merupakan pintu masuknya para roh, terdapat sebuah kamar mandi kecil untuk membersihkan diri, menyisir rambut, menggosok gigi atau memperbaiki dandanan.

Bila sebelum pesta ada roh yang ingin menjahit kancing, juga disediakan keperluannya. Bila ada yang ingin main kartu atau santai bermain mahyong, juga ada duit mainan.

Menurut kepercayaan orang Cina, baik di dunia sini maupun sana, manusia makan dengan mulut, hidung dan mata. Karena itu makanan yang disuguhkan juga dengan cara yang indah, seperti cumi di atas piring membentuk payung, buah nenas dibentuk naga, cawan yoghurt dibentuk kapal berhias.

Minuman yang tersedia juga tidak kurang: ada sampanye, bir, anggur dan limun. Pada piring persembahan terdapat benda-benda kecil yang mencantumkan nama penyumbangnya.

Di lapangan depan meja-meja kurban terdapat tempat main judi untuk hiburan pendatang. Di situ juga terdapat dua panggung orkes lengkap dengan pengeras suara elektronik, serta penyanyi wanita yang berpakaian minim.

Mungkin ini yang dimaksud oleh pemimpin kuil sebagai “sesuatu yang enak dinikmati mata”.

Di atas, pada batang-batang bambu, tergantung rentetan petasan. Sementara itu para petugas dengan bersemangat menyebarkan kertas bertulis yang mencantumkan nilai uang di dunia sana.

Begitu pendeta Tao mengakhiri upacara, dia akan memberi isyarat. Petasan pun akan dibunyikan, uang-uangan dibakar, begitu juga rumah-rumahan indah, mobil limusin dari kertas untuk orang mati.

Dalam suatu pertunjukan, saya hampir saja tidak berkesempatan menyaksikan tarian teman  saya yang menjadi medium. Dia melompat-lompat dalam trance dengan satu kaki. Pada ujung mulutnya keluar busa, keringat mengucur di sekujur tubuhnya yang telanjang itu.

Sebenarnya dia sudah lama tidak bisa menari lagi, tapi rupanya program rencana kunjungan para dewa sudah demikian ditentukan: para dewa mengabulkan permintaan mereka.


Membuat kredit untuk bayar kurban

Dalam perjalanan kembali ke kota, menjelang tengah malam, saya berjumpa dengan peziarah pertama dalam perjalanannya menuju Kuil Mazu. Di sana esok pagi akan diadakan pesta kurban besar dan puncak acara pada lusanya.

Saat itu ada arak-arakan berbagai benda menuju laut dan di sana dibakar. Upacara itu untuk menghormati Dewi Mazu.

Biaya untuk pesta Kuil Mazu itu sama seperti bila akan diadakan pesta Oktober, yaitu diperoleh dari kuil-kuil kecil masing-masing desa. Di Lu’ermen semuanya serba lebih besar. Mulainya saja sudah sejak 49 hari yang lalu.

Juga tempat mempersembahkan kurban luas sekali. Bisa jadi luasnya mencapai selusin lapangan bola. Pengunjungnya mencapai ratusan ribu orang. Polisi yang mengawasi kendaraan saja terbagi dalam dua ratus kelompok.

Lebih dari dua ribu ekor ‘babi suci’ menjadi kurban untuk dipersembahkan pada para roh. Di antaranya ada lima ‘babi suci perkasa’, yang beratnya lebih dari 600 kg. Jumlah pengunjung pertunjukan juga banyak sekali ditambah pedagang kaki lima dan tukang obat.

Konon pagi itu ada tiga orang pengemis yang datang dengan taksi.

Saya menanyakan tentang riwayat kelima ekor babi yang dianggap paling bagus dan paling gemuk itu. Binatang-binatang itu ternyata dari Taipeh, yang dipelihara selama lima tahun.

Apakah nama babi-babi itu? “Babi-babi itu dinamai Pangeran Babi Besar,” jelas seorang pemuda yang membantu kawannya dalam upacara kurban itu.

Lima orang penyumbang menghasilkan dana sebesar 9.000 mark (± Rp 4,4 juta) dipakai untuk membeli kurban tersebut. Kini Pangeran Babi Besar yang sudah mati itu dinobatkan di sebuah pagoda dengan nenas di mulutnya.

Si pemuda yang menceritakan tentang riwayat babi itu pada kami, rupanya tidak begitu senang dengan kemewahan pesta itu. Menurut dia, pesta sate saja bisa menelan biaya besar sekali.

Walau tampaknya hanya sate. Uang kertas yang biasanya dibakar memang tidak ada harganya,  tapi untuk itu perlu biaya besar. Rekannya, karena anjuran seorang tukang ramal harus membawa korban, sampai bikin kredit untuk itu.

Tiba-tiba sekelompok pendeta melompat ke tengah kerumunan massa, dipimpin seorang pria yang paling tua, dengan membawa belati di mulutnya.

“Itu bagian penyerbuan Mazu,” jelasnya. “Para pendeta menguji apakah si dewa puas atau tidak dengan kurban itu.”

Apakah pemuda itu percaya akan hal itu? “Ah, itu ‘kan kebanyakan tidak betul,” ujarnya tertawa. “Saya sendiri juga tidak begitu percaya.” (dorman.ak)

Sumber: Majalah Intisari Edisi Mei1996

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker