Elektabilitas Jokowi ‘dibayangi’ masalah ekonomi, kebangkitan PKI dan SARA

Mayoritas rakyat Indonesia mengaku puas dengan kinerja Presiden Joko Widodo namun -menurut sebuah survei- bukan jaminan untuk meraih kemenangan dalam pemilihan presiden 2019.

Soalnya masih ada sejumlah faktor kinerja dan nonkinerja yang dianggap bisa menghambat elektabilitasnya, seperti terungkap dalam survei yang dilakukan Indikator Politik Indonesia pada 17-24 September 2017.

Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin, mengatakan survei menemukan masih ada masyarakat yang percaya bahwa isu nonkinerja -seperti kebangkitan PKI (Partai Komunis Indonesia), anggapan anti-Islam, dan memusuhi ulama- dapat mempengaruhi elektabilitas.

“Kalau kita lihat itu, kemudian kita crosstab sama pilihan capres efeknya luar biasa, mereka yang percaya Jokowi keturunan Cina, Jokowi dianggap memberikan jalan untuk kebangkitan PKI.

“Mereka itu betul-betul tidak mau milih Pak Jokowi, selain aspek-aspek rasional terkait dengan kinerja dan aspek teknokratik sebagai seorang presiden yang mengepalai dan memimpin pemerintahan. Mau tidak mau untuk memang 2019, Jokowi tidak cukup untuk mengandalkan ini,” jelas Burhanuddin.

Dia menjelaskan dalam menentukan pilihan, pemilih tidak hanya didorong oleh rasionalitas tapi juga ada faktor nonkinerja, seperti yang juga terjadi di negara lain.

Sementara pakar sosiologi politik UGM, Arie Sudjito, juga menyebutkan kemungkinan isu SARA akan digunakan untuk ‘melemahkan’ Jokowi.

“Ya isu itu yang akan digunakan, isu pro-Cina, pro-PKI, dan isu sektarian seperti pengalaman pilkada Jakarta,” jelasnya.

Survei Indikator Politik Indonesia menunjukkan sekitar 6% percaya Joko Widodo anti-Islam, meski mayoritas sebesar 67% menyebut Jokowi membela Islam dan 27% menyebutkan tidak mengetahuinya.

Ketika pertanyaan tentang apakah Jokowi dianggap memusuhi ulama, ada 5% yang menyatakan setuju, 66% tidak setuju, sementara 9% sangat tidak setuju.

Hasil survei Indikator Politik Indonesia menunjukkan masyarakat yang merasa puas dengan kinerja Joko Widodo mencapai 68,3% (60,39 cukup puas dan 7,95% sangat puas). Sementara faktor kinerja yang dianggap dapat ‘melemahkan’ elektabilitas Jokowi antara lain adalah angka kemiskinan, tingkat pengangguran dan juga sulitnya memperoleh bahan pokok.

 

Prabowo Subianto dan Joko Widodo bertemu setelah pemilihan presiden yang berlangsung ketat.

 

Elektabilitas masih tinggi

Namun, dalam survei tersebut elektabilitas Jokowi masih tinggi yaitu 34,2% dibandingkan Ketua Umum Gerindra, Prabowo Subianto, yang mendapatkan 11,5%, jika pemilihan presiden dilakukan sekarang.

Sementara nama lain yang muncul antara lain Ketua Umum Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono (2,1%), Ketua Umum Partai Perindo, Hary Tanoeseodibjo (1%), dan Panglima TNI Jenderal, Gatot Nurmatyo sebesar 0,7%.

Namun ketika hanya dua nama calon yang disodorkan pada responden seperti dalam Pilpres 2014 lalu, Jokowi mendapatkan 58,9% suara dan Prabowo 31,3%.

“Poin saya Jokowi meskipun paling atas dan elektabilitas paling tinggi dibanding yang lain, tapi dari sisi kompetisi pemilu 2019 itu jauh dari selesai, bahkan belum dimulai,” jelas Burhanuddin.

Dia mengatakan dalam waktu kurang dari dua tahun menjelang pilpres 2019, Jokowi harus membenahi masalah kemiskinan dan pengangguran, serta daya beli masyarakat.

“Tantangan buat Pak Jokowi adalah waktu makin mepet ke tahun politik, nah kinerja dan konsolidasi kekuasaan untuk on the track dalam konteks ke kinerja, tapi pada saat yang sama berbagi perhatian dan konsentrasi dalam politik itu jadi menentukan.

“Kalau gagal meng-address ini, ya kemungkinan bisa turun juga, tetapi kemudian jika dia berhasil isu tersebut dan mampu men-counter isu PKI dan Cina, tentu elektabilitasnya bisa naik,” jelas Burhanuddin.

 

Dia mengatakan naik turunnya elektabilitas Jokowi akan sangat tergantung pada kinerja Jokowi, timnya dan juga lawan politiknya nanti.

Dalam sejumlah survei yang dilakukan lembaga lain antara lain Saiful Mujani Research and Consulting SMRC, elektabilitas Jokowi masih unggul dibandingkan saingan terdekatnya Prabowo Subianto, tetapi di bawah 50%.

PDIP optimis dan modal politik

Puti Guntur Soekarno anggota DPR dari PDIP -pendukung Presiden Joko Widodo- masih optimis bahwa dalam waktu dua tahun Joko Widodo akan dapat menyelesaikan masalah ekonomi dan kesejahteraan rakyat, termasuk pengangguran.

“Masih ada waktu ke depan dengan pembukaan lahan, dengan pemberian sertifikat hak tanah dan kartu Indonesia Pintar, Kartu Indonesia Sehat, terutama infrastruktur, ini masih ada dua tahun,” jelas dia.

Puti yakin proyek infrastruktur yang dibangun Jokowi mampu menurunkan harga-harga dan meningkatkan daya beli masyarakat terutama di Indonesia bagian timur.

Untuk menangkal isu yang tidak berkaitan dengan kinerja, Puti mengatakan dalam menangani isu SARA tak hanya merupakan kewajiban bagi Jokowi saja, tetapi juga masyarakat Indonesia karena dapat memecah kesatuan bangsa.

Bagaimanapun, menurut pakar sosiologi politik UGM, Arie Sudjito, kinerja Joko Widodo -sebagai petahana- selama menjabat presiden merupakan modal politik yang besar namun tetap harus berhati-hati dan waspada dalam mengeluarkan kebijakan agar tidak digunakan untuk menyerang dirinya.

“Bagaimana kemampuan memanfaatkan modalitas politik itu untuk memperbesar sehingga bisa ditransformasikan ke peningkatan elektabilitas. Nah itu sangat dipengaruhi oleh kompetitor, terus daya dukung politik, daya dukung partai, relawan dan sebagainya,” jelas Arie.

Dia menilai Jokowi juga masih memiliki waktu untuk menyelesaikan sejumlah masalah seperti pengangguran dan daya beli sebelum pemilihan presiden pada 17 April 2019 nanti.

 

Oleh Sri Lestari BBC

 

Baca Juga

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker