Politisi Masyumi Mr. Kasman, Lobi Ki Bagus Hadikusumo Terima Piagam Jakarta Diubah

Politisi Masyumi, Mr. Kasman Singodimejo Sosok Yang Meluluh Hati

Ki Bagus Hadikusumo Agar Piagam Jakarta Diubah

Sepenggal Cerita Masa lalu,  Mengenang Jasa Para  Pahlawan

Oleh: M. Saleh Rumata

 

Ki Bagus Hadikusumo sebagai golongan Islam Nasionalis bersikukuh agar Pancasila sebagai dasar Negara adalah seperti yang tercantum dalam piagam Jakarta. Namun, kelompok nasionalis melalui Muhammad Hatta atas masukan dari wakil Indonesia Timur bersekukuh agar Sila Pertama Piagam Jakarta diubah. Akhirnya sebagai ketua PPKI, Soekarno mengirim Kasman Singodimejo, sahabat dekat Ki Bagus untuk membujuk pemimpin Muhammadiyah tersebut.  Seperti apa bujukan Kasman sehingga bisa meluluhkan hati Ki Bagus?

Sehari setelah pembacaan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945, tujuh kata dalam Piagam Jakarta dihapuskan. Di antara tokoh yang sangat gigih menolak penghapusan itu adalah tokoh Muhammadiyah, Ki Bagus Hadikusumo. Saking gigihnya, sampai-sampai Soekarno dan Hatta tak berani bicara langsung dengan Ki Bagus. Soekarno terkesan menghindar dan canggung, karena bagi Ki Bagus, penegakan syariat Islam adalah harga mati yang tak bisa ditawar lagi.

Untuk meluluhkan pendirian Ki Bagus, Soekarno kemudian mengirim utusan bernama Teuku Muhammad Hassan dan KH Wahid Hasyim agar bisa melobi Ki Bagus. Namun, keduanya tak mampu meluluhkan pendirian tokoh senior di Muhammadiyah ketika itu. Akhirnya, dipilihlah Kasman Singodimedjo yang juga orang Muhammadiyah, untuk melakukan pendekatan secara personal, sesama anggota Muhammadiyah, untuk melunakkan sikap dan pendirian Ki Bagus Hadikusumo.

Kasman Singodimedjo adalah ketua DPR pertama dari partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Dalam memoirnya yang berjudul ”Hidup Itu Berjuang“, Kasman menceritakan bahwa ia mendatangi Ki Bagus dan berkomunikasi dengan bahasa Jawa halus (kromo inggil). Kepada Ki Bagus, Kasman membujuk dengan mengatakan,

“Kiai, kemarin proklamasi kemerdekaan Indonesia telah terjadi. Hari ini harus cepat-cepat ditetapkan Undang-Undang Dasar sebagai dasar kita bernegara, dan masih harus ditetapkan siapa presiden dan lain sebagainya untuk melancarkan perputaran roda pemerintahan. Kalau bangsa Indonesia, terutama pemimpin-pemimpinnya cekcok, lantas bagaimana?

Kiai, sekarang ini bangsa Indonesia kejepit di antara yang tongol-tongol dan yang tingil-tingil. Yang tongol-tongol  ialah balatentara Dai Nippon yang masih berada di bumi Indonesia dengan persenjataan modern. Adapun yang tingil-tingil (yang mau masuk kembali ke Indonesia, pen) adalah sekutu termasuk di dalamnya Belanda, yaitu dengan persenjataan yang modern juga. Jika kita cekcok, kita pasti akan konyol.

Kiai, di dalam rancangan Undang-Undang Dasar yang sedang kita musyawarahkan hari ini tercantum satu pasal yang menyatakan bahwa 6 bulan lagi nanti kita dapat adakan Majelis Permusyawaratan Rakyat, justru untuk membuat Undang-Undang Dasar yang sempurna. Rancangan yang sekarang ini adalah  rancangan Undang-Undang Dasar darurat. Belum ada waktu untuk membuat yang sempurna atau memuaskan semua pihak, apalagi di dalam kondisi kejepit!

Kiai, tidakkah bijaksana jikalau kita sekarang sebagai umat Islam yang mayoritas ini sementara mengalah, yakni menghapus tujuh kata termaksud demi kemenangan cita-cita kita bersama, yakni tercapainya Indonesia Merdeka sebagai negara yang berdaulat, adil, makmur, tenang tenteram, diridhai Allah SWT.”

Kasman juga menjelaskan perubahan yang diusulkan oleh Mohammad Hatta, bahwa kata ”Ketuhanan” ditambah dengan ”Ketuhanan Yang Maha Esa”.  KH A Wahid Hasyim dan Teuku Muhammad Hassan yang ikut dalam lobi itu menganggap Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala, bukan yang lainnya. Kasman menjelaskan, Ketuhanan Yang Maha Esa menentukan arti Ketuhanan dalam Pancasila. ”Sekali lagi bukan Ketuhanan sembarang Ketuhanan, tetapi yang dikenal Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa,” kata Kasman meyakinkan Ki Bagus.

Kasman juga menjelaskan kepada Ki Bagus soal janji Soekarno yang mengatakan bahwa enam bulan lagi akan ada sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk membuat undang-undang yang sempurna. Di sanalah nanti kelompok Islam bisa kembali mengajukan gagasan-gagasan Islam. Karena Soekarno ketika itu mengatakan, bahwa perubahan ini adalah Undang-Undang Dasar sementara, Undang-undang Dasar kilat. “Nanti kalau kita telah bernegara di dalam suasana yang lebih tenteram, kita tentu akan mengumpulkan kembali Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dapat membuat Undang-Undang yang lebih lengkap dan sempurna,” kata Soekarno.

Para tokoh Islam saat itu menganggap ucapan Soekarno sebagai “janji” yang harus ditagih. Apalagi, ucapan Soekarno itulah setidaknya yang membuat Ki Bagus merasa masih ada harapan untuk memasukkan ajaran-ajaran Islam dalam undang-undang yang lengkap dan tetap nantinya.

”Hanya dengan kepastian dan jaminan enam bulan lagi sesudah Agustus 1945 itu akan dibentuk sebuah Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Majelis pembuat Undang-Undang Dasar Negara guna memasukkan materi Islam itu ke dalam undang-undang dasar yang tetap, maka bersabarlah Ki Bagus Hadikusumo itu untuk menanti,” kenang Kasman dalam memoirnya.

Selain soal jaminan di atas, tokoh-tokoh Islam juga dihadapkan pada suatu situasi terjepit dan sulit. Dan yang perlu dicatat, tokoh-tokoh Islam yang dari awal menginginkan negeri ini merdeka dan bersatu. Akhirnya Ki Bagus dan tokoh islam lainnya legowo untuk tidak memaksakan kehendaknya mempertahankan tujuh kata tersebut. (Sumber: Kasman Singodimedjo ”Hidup Itu Berjuang“ )

Baca Juga

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker