Kisah Resa Amelia Utami Alumni PPI 31 Banjaran, Mahasisawa Al Azhar yang Jalani Shaum Ramadhan Perdana di Mesir.

Abadikini.com, MESIR- Menjadi bagian dari para perantau ilmu di luar negeri adalah hal yang sangat begitu saya syukuri. Butuh keberanian besar, kesungguhan dan do’a-do’a. Semua itu tidak terlepas dari jasa orang tua, asatidzah di Pesantren Persis 31 Banjaran, dan semua pihak yang telah mendukung.

Tak terasa sudah menginjak bulan kedelapan di tanah rantau. Bertepatan dengan bulan Ramadhan, kerinduan akan tanah air dan para pemeran utamanya semakin mengetuk-ngetuk hati. Namun, sayang sekali rasanya jika terburu-buru pulang kampung, melewatkan Ramadhan di negeri yang seringkali di sebut-sebut Alquran.

Nah, gimana sih rasanya menjalani ibadah shaum Ramadhan di negeri orang? Apakah sama dengan di Indonesia?

Ini adalah kisah Resa Amelia Utami lulusan Muallimin Pesantren Persatuan Islam (PPI) 31 Banjaran  – Mahasiswi Bahasa Arab Universitas Al-Azhar Mesir yang masih menempuh kelas bahasa.

K E L U A R G A

Bagi alumnus pesantren non pondok seperti saya, perantauan ke negeri mesir ini benar-benar hal yang sangat baru.  Mulai dari terbentangnya jarak dengan keluarga sampai lintas benua, hingga tinggal dengan orang-orang yang tidak senasab. Tidak dapat dipungkiri, selama beradaptasi mungkin sempat kaget karena ruang privasi harus terbagi dengan teman-teman sekamar, dll.

Jika di Indonesia kita terbiasa sahur dan berbuka bersama ayah, ibu, kakak, adik bahkan kakek dan nenek, maka di tanah rantau ini kita menjalani kehidupan sehari-hari bersama orang baru yang senasib nan seperjuangan. Seiring berjalannya waktu asik-asik saja, tidak ada kendala yang terlalu berarti.  Jadi tak perlu khawatir jika keinginan merantaumu baru muncul saat hendak memasuki dunia mahasiswa.

Terlebih saat keyakinan pada Allah swt semakin diperkuat, maka menjalin kerekatan ukhuwwah islamiyyah dengan keluarga di tanah rantau sangat membantu. Pun rindu-rindu pada keluarga nan jauh di indonesia sana tidak akan terlalu meronta selain dalam do’a-do’a.

M A K A N A N

Rosulullah saw bersabda: “Sesungguhnya terdapat dua kebahagian bagi seorang hamba. Yakni saat bertemu dengan Tuhannya dan saat berbuka puasa.”

Hidangan sahur sebagai keberkahan dan ifthar yang paling ditunggu saat Ramadhan, menjadi topik yang paling “in” di kalangan Masisir (Mahasiswa Indonesia di Mesir).  Terlebih seringkali dikemukakan kerinduan akan makanan khas Indonesia,  sekalipun hanya berupa ikan asin dan sambal atau sekedar es-es buah pinggir jalan yang sudah berdiri kukuh di detik-detik jelang adzan maghrib.  “Ah..  rindu!”.

Faktanya, di mesir tidak ditemukan pedangang-pedangang aneka macam minuman dingin ataupun snack.  Cendol,  Es buah, Cingcau, es Kelapa, dan banyak kawan-kawannya tidak ditemukan di sini. Untungnya masih ada minuman dingin pengganti, seperti subyah, tamr hindi,  ashob, dan aneka jus buah. Hanya, penjual batagor, cireng, cilok, cilung, seblak, dan semua jajanan bandung tidak mudah ditemukan. Bahkan memang tidak ada, kecuali jika buat sendiri atau pesan dari orang indonesia dengan harga yang tentu tidak ramah bagi mahasiswa yang suka nabung.. Hehe

Meskipun makanan pokok di Mesir itu Isy (roti), tetapi pribumi juga makan nasi. Tentunya dengan cara memasak dan bumbu yang berbeda.

Kerinduan akan hidangan khas indonesa bisa dikurangi dengan ikut buka bersama di rumah-rumah sesepuh asal indonesia.  Karena disinyalir,  rumah-rumah sesepuh yang sudah berkeluarga pasti banyak ditemukan bahan makanan dan bumbu-bumbu khas indonesia.. Jadi insyaAllah rindu makanan tidak terlalu mengganggu.

Yang unik dari Mesir saat bulan ramadhan ialah menjamurnya “MaaidaturRahman” di berbagai tempat; di mesjid-masjid, pinggir jalan, atau restauran yang menggratiskan menunya. Maaidaturrahman adalah hidangan berbuka puasa yang disajikan oleh para aghniya secara gratis. Mulai dari takjil sampai makanan berat. Meski makanan beratnya olahan mesir asli, yang cenderung asam karena sering menggunakan banyak tomat, keseruan dan keberkahan  dalam maidaturrahman tidak menyurutkan semangst pra mahasiswa indonesia untuk ikut. Teman-teman saya pun ikut berburu ke berbagai tempat.  Meskipun sampai saat ini saya baru merasakan sekali saja berbuka di salah satu mesjid yang ada di Darrasah, Kairo.

Para penyedia makanan itu sangat senang sekali jika banyak yang datang, terutama wafidin. Sampai yang tidak mau pun dipaksa harus mau.. MasyaAllah

M A S J I D

Mahabesar Allah, buminya yang amat luas ini bisa digunakan untuk bersujud, beribadah kepada-Nya. Sebab Allah yang kita sembah satu, tak ada perbedaan terlalu berarti antara mesjid di indonesia dengan di Mesir.

Hanya saja, tentu sebagai bangsa yang bahasa ibunya bahasa arab, ada kenikmatan tersendiri ketika sang Imam Mishry memimpin shalat jama’ah tarawih. Kefasihannya jauh lebih baik dari pada segelintir imam masjid di indonesia. Utamanya,  masjid di pedesaan yang terkadang imamnya (maaf)  ada yang masih kurang dalam menerapkan ilmu tajwidnya. Lagi,  jika di indonesia terawih 11 rakaat dengan membaca 1 juz alquran itu merupakan hal yang langka, maka di sebagian besar masjid di Mesir dapat mudah ditemukan. Saat ini saya terbiasa shalat tarawih di Masjid Khozan,  tidk jauh dari flat tempat saya tinggal. Pembacaan 1 juz alquran bisa memakan waktu lebih kurang 2 jam. Karena baru pertama shalat tarawih selama itu, wajarlah bagi pemula seperti saya ini sering mengalami pegal bahkan bengkak sehari setelah melakukan shalat.. Hhu. MasyaAllah, Maa Ajmala Mishr.

K E G I A T A N

Selama bulan ramadhan ini banyak beragam kegiatan berbeda yang dilakukan mahasiswa indonesia di sini. Meskipun sebenarnya para mahasiwa sedang menjalani ujian termin 2. Adapun mahasiswa yang masih ikut kelas bahasa,  kegiatan belajarnya diliburkan selama ramadhan.  Ada yang menghabiskannya dengan ikut daurah2 keilmuan baik mukim dan non mukim. Jika non mukim,  daurah biasa dilakukan sekitar kompleks Al-azhar dan seperti talaqqi di hari-hari biasa. Adapun yang mukim dan di luar kairo,  terdapat daurah di Alexsandria bersama Syaikh ‘Alaa, ada juga yang ikut daurah tahfidz di Manufiya, dll.  Adapun saya sendiri karena tinggal di asrama tahfidz Daar El Waseela Kairo, maka sudah ada program tersendiri.

Bulan ramadhan adalah bulannya Alquran, betapa rugi rasanya dulu saat di indonesia tidak terlalu sering bercengkrama dengan alquran. Berbeda dengan lingkungan sekarang. Alhamdulillah bini’matil imaan wal islam wal hidayah.

S U H U  & D U R A S I

Beberapa tahun terakhir Bulan Ramadhan di Mesir jatuh bertepatan pada saat berlangsungnya musim panas. Dan benar saja, rasanyaa paaanaas sekali.  Membuat kita malas keluar rumah. Untunglah kelas bahasa diliburkan selama Ramadhan, jadi saya to dak banyak keluar selain menuju tempat halawoh tahfidz alquran. Bahkan beberapa hari lalu sampai mencapai 44°C.  Kipas angin di rumah tidak pernah mati,  tapi bangun tidur sudah berkeringat lagi.  Kurangnya lingkungan yang rimbun dengan pepohonan menjadi faktor penambah rasa panas itu. Sampai-sampai mata sulit terbuka karena saking silaunya. Angin pun mendesau, tetapi terasa panas. Sehingga terasa seperti menampar-nampar.. Ya rabb, sungguh neraka jauh lebih panas dari itu. Maka adakah cara lain bagi kita selain bersabar? Karena Allah tidak akan pernah menyiakan orang yang berbuat baik.

Meski kadang ga tahan pengen ngeluh, tetapi sabar tetaplah satu-satunya penyejuk selagi menunggu adzan maghrib lantas meneguk es jeruk.

Berbeda degan di Indonesia, dulu saya masih ingst sempat tidak berangkat ke masjid untuk tarawih karena hujan. Itu artinya suhu di indonesia saat Ramadhan tidak terlalu panas seperti di Mesir. Terlebih durasinya juga leb

ih sedikit. Di mesir ini kita berpuasa lebih kurang selama 16 jam lamanya.

Begitulah kiranya pengalaman Ramadhan saya di tanah rantau. Semoga dapat menginspirasi.

Baca Juga

Berita Terkait
Close
Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker