Negara Dengan Banyak Bos

Siapa sebenarnya “Bos besar” di negara ini? Kalau Anda jawab “Presiden Jokowi,” seharusnya jawaban itu benar, malah sangat benar.

Masalah akan muncul bila ada pertanyaan dengan jawaban berganda (multiple choice) a. Jokowi, b.Luhut Panjaitan, c. Megawati, d. Rini Soemarno, e. Ignasius Jonan. Dijamin Anda akan bingung menjawabnya. Kemungkinan besar malah akan ada yang balik bertanya, “kok nama Jusuf Kalla tidak ada?”

Pembatalan, atau tepatnya penundaan kenaikan harga premium, kurang lebih satu jam setelah resmi diumumkan oleh Menteri ESDM Ignasius Jonan menjadi contoh terbaru. Betapa membingungkannya negara ini.
Bagaimana sesungguhnya negara ini dikelola? Bagaimana proses pengambilan keputusannya? Apa dasar keputusan tersebut? Dan siapa yang berhak memutuskan?

Coba perhatikan alur cerita berikut secara kronologis. Menteri ESDM Ignasius Jonan mengumumkan kenaikan premium. Pada pagi harinya PT Pertamina mengumumkan kenaikan sejumlah BBM non subsidi.

Berita tersebut menjadi breaking news di beberapa media online dan televisi. Jonan membeberkan alasan di balik keputusan Presiden Joko Widodo menaikkan harga BBM bersubsidi ini. Harga minyak brent di pasaran dunia sudah mencapai US$ 85/barel. Sejak Januari mengalami kenaikan 30%. Sementara kenaikan harga di dalam negeri kurang dari 25%. Jadi ada defisit, tidak bisa diteruskan.

“Karena itu pemerintah mempertimbangkan sesuai arahan Presiden Jokowi premium hari ini naik pukul 18.00 paling cepat tergantung kesiapan Pertamina ke 2.500 SPBU,” kata Jonan saat menggelar konferensi pers di Hotel Sofitel, Bali, Rabu (10/10/2018).

Namun tak lama berselang Jonan membuat keterangan tertulis “Sesuai arahan Bapak Presiden rencana kenaikan harga premium di Jamali menjadi Rp 7.000 dan di luar Jamali menjadi Rp 6.900, secepatnya pukul 18.00 hari ini, agar ditunda dan dibahas ulang sambil menunggu kesiapan PT Pertamina,” tulis Jonan.

Coba perhatikan kata-kata “sesuai arahan Bapak Presiden.” Dua-duanya sesuai arahan Presiden. Baik keputusan untuk menaikkan, maupun menunda kenaikan. Jadi Jonan tidak mengambil keputusan sendiri. Dan rasanya kita haqul yakin, tidak mungkin untuk keputusan sepenting itu — apalagi di musim kampanye—Jonan berani mengambil keputusan sendiri. Itu sudah terlalu jauh.

Kebingungan publik tidak hanya berhenti sampai disitu. Tidak lama setelah itu, Deputi Usaha Pertambangan, Industri Strategis, dan Media Kementerian BUMN Fajar Harry Sampurno menjelaskan alasan pembatalan tersebut.

“Bu Menteri (BUMN, Rini Soemarno) meng-crosscheck dengan Pertamina dan menyampaikan bahwa kami tidak siap untuk melakukan dua kali kenaikan dalam waktu satu hari. Jadi perlu waktu,” kata Fajar di Indonesia Pavilion Nusa Dua, Bali, Rabu (10/10/2018).

Menurut Fajar, kenaikan harga BBM Premium harus dilihat dari tiga aspek yang mendasari dan tertuang dalam Perpres Nomor 43 Tahun 2018. “Pertama kondisi keuangan negara dan kedua adalah kemampuan daya beli masyarakat, serta yang ketiga adalah kondisi real ekonomi.”

Fakta lain yang diungkap Fajar juga cukup menarik. “Kenaikan harga premium akan diputuskan dalam rapat koordinasi (rakor) di tingkat Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.”

Jonan berada di Bali, begitu juga Rini juga berada di Bali. Sama-sama menghadiri pertemuan tahunan IMF dan Bank Dunia. Presiden Jokowi sejak Rabu (10/10) malam juga berada di Bali, untuk acara yang sama. Media menulis berita ini dengan judul menarik “ Ada Rini di balik penundaan kenaikan premium.” Nah……

Dari rangkaian pernyataan para pejabat tadi dapat disimpulkan, keputusan menaikkan harga premium adalah arahan Jokowi kepada Jonan. Menko Perekonomian Darmin Nasution tidak tahu menahu. Menteri Rini juga tidak tahu. Pertamina juga tidak tahu, dan tidak siap. Rini minta Presiden menunda.

Jonan akhirnya terpaksa menarik pernyataannya. Namun media sudah mencatat, bahwa baik pengumuman, maupun penundaan, dua-duanya “atas arahan Bapak Presiden.” Sebagai bawahan Jonan tidak salah. Dia hanya menjalankan arahan presiden. Yang salah bila dia tidak menjalankan arahan Presiden.

Seorang mantan menteri di kabinet Jokowi hanya bisa bisa geleng-geleng kepala. “Aku speechlees mas.” Kehabisan kata-kata.

Hanya contoh kecil
Inkonsistensi alias sering berubah-ubahnya keputusan pemerintah, bukan hanya pada kasus kenaikan harga BBM. Banyak contoh lain. Tinggal kuat-kuatan mengumpulkan data. Dalam peribahasa Jawa disebut “esuk dele, sore tempe.
Pagi hari masih berupa kedelai, tapi sore harinya sudah menjadi tempe.” Tidak konsisten, antara ucapan dan perbuatan. Hanya dalam hitungan jam, sudah berubah sikap. Dalam bahasa sekarang disebut tukang bikin hoax.

Pada penanganan gempa di Palu, Sigi, dan Donggala, Presiden Jokowi mempersilakan bantuan asing masuk. “Bapak Presiden telah menyampaikan kepada Ibu Menteri Luar Negeri untuk membuka bantuan dari negara lain, dalam mengatasi gempa di Donggala dan Palu sesuai kebutuhan,” kata Juru Bicara Kepresidenan Johan Budi di Jakarta, Senin (1/10). Koordinasinya akan dilakukan oleh Menko Polhukam.

Tak lama kemudian media sempat memberitakan Wapres Jusuf Kalla menolak bantuan asing. Namun pernyataan ini kemudian diluruskan, bahwa yang ditolak adalah bantuan pasukan, termasuk kapal rumah sakit militer. Sementara untuk bantuan rehabilitasi dalam jangka panjang tetap diterima.

Bagaimana faktanya di lapangan? Situs berita Jerman Deutsche Welle melaporkan para relawan asing diusir. Termasuk sejumlah relawan terlatih dari Jeman. “Semua anggota tim harus kembali ke negaranya masing-masing. Mereka tidak dibutuhkan di Indonesia,” kisah Ahmed Bham seorang relawan dari Afrika Selatan. Bayangkan. Jauh-jauh datang dari Afsel untuk membantu, malah “diusir.”

Masih soal penanganan bencana di Sulteng, Mendagri Tjahjo Kumolo kalang kabut ketika instruksinya mempersilakan warga mengambil barang di sejumlah mini market, berbuntut penjarahan. Dia kemudian malah menyalahkan media yang memlintir ucapannya.

Di Lombok warga korban bencana marah dan kesal karena bantuan yang dijanjikan tak kunjung cair. Secara simbolis Presiden Jokowi menyerahkan bantuan masing-masing sebesar Rp 50 juta untuk warga yang rumahnya rusak berat. Danaya jelas  sudah tertera di dalam rekening bank BRI, namun  tetap tak dapat dicairkan. Rekening bedong. Ajaib.

Belakangan ada surat edaran dari Kemensos semacam ‘pengakuan dosa.” Anggaran Kemensos sedang cekak, jangan umbar janji bantuan.” Nah siapa yang umbar janji. Siapa yang berbohong?

Daftar kekonyolan tersebut semakin panjang, bila kita telusuri selama empat tahun lebih Presiden Jokowi berkuasa. Hanya enam bulan setelah berkuasa, Jokowi menandatangani Perpres bantuan uang muka untuk pembelian mobil pejabat. Setelah muncul kritikan pedas, Jokowi membatalkannya. Dia berkilah tidak mungkin membaca satu persatu dokumen yang ditanda tanganinya.

Harian berbahasa Inggris milik keluarga James Riady, Jakarta Globe kemudian membuat sebuah judul : “I Don’t Read, What I Sign.” Idiom ini kemudian menjadi trending topic di twitter. Sikap Jokowi yang terkesan menyalahkan bawahannya mendapat komentar dari Tommy Soeharto. “Pemimpin yang menyalahkan bawahan ketika sedang terdesak adalah pemimpin yang “tidak bertanggung jawab”, cuit Tommy.

Publik pasti belum lupa dengan kasus Archandra Tahar. Menteri ESDM tersebut hanya menduduki posisinya selama 20 hari. Dia dilantik 27 Juli 2016 menggantikan Sudirman Said pada reshuffle Kabinet Jilid II. Tanggal 15 Agustus 2016 diberhentikan. Archandra diketahui menjadi pemegang paspor AS.

Bagaimana mungkin pemegang paspor negara lain—berarti dia warga asing, atau setidaknya berkewarga negara ganda—diangkat menjadi menteri? Jelas merupakan pelanggaran konstitusi.

Apa tidak ada pengecekan, clearance dari BIN, dan Deplu? Bukankah Presiden bisa memerintahkan Deplu untuk melakukan pengecekan ke Kedutaan Besar RI di AS, atau Konsulat Jenderal RI di Houston tempat Archandra tinggal? Namun show must go on. Setelah dua bulan mencari celah, pada 14 Oktober Archandra Kembali ke kabinet. Posisinya turun menjadi Wakil Menteri.

Banyaknya kekacauan pengambilan keputusan/kebijakan dalam pemerintahan Jokowi memunculkan banyak pertanyaan soal kapasitasnya. Dalam militer dikenal sebuah pameo “Tidak ada prajurit yang salah. Yang salah adalah komandannya.”
Bagaimana jika komandannya terlalu “banyak”? Fenomena ini sering digambarkan dalam sebuah frasa “too many chief, not enough Indians.” Frasa yang terkesan rasis ini menggambarkan situasi kerja yang terlalu banyak bos, tapi sedikit pekerja.

Bila dalam sebuah negara, banyak yang merasa menjadi bos, keputusan satu dengan lainnya bertentangan. Rakyat menjadi bingung. Saran terbaik, seperti pengumuman pramugari “ Kembali ke tempat duduk masing-masing. Kencangkan sabuk pengaman.” Pesawat akan mengalami turbulensi, goncangan, naik dan turun.

Masalahnya “penerbangannya” akan menempuh waktu selama lima tahun. Masih kuat?

Hersubeno Arief 

Baca Juga

Berita Terkait
Close
Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker