NEGERI DEMOKRASI
Ulasan Ir. David. Pranata Boer
Ketua Bidang Komunikasi dan Opini Publik DPPp PBB
abadikini.com, JAKARTA – Negara ini telah memilih cara berdemokrasi yaitu Demokrasi Pancasila. Tapi itu ternyata dalam pelaksanaannya itu hanya klaim istilah saja, karena semangat berdemokrasi dengan cara bermusyawarah untuk mufakat dalam sila ke 4, selalu diyakini akan selesai dengan cara voting.
Dan semua aspek pengambilan keputusan akan diselesaikan dengan voting untuk “mendapat suara terbanyak”..
Maka cara “one man one vote” adalah satu-satunya cara yang dianggap adil dan dapat mewakili aspirasi semua lapisan masyarakat saat ini.
Saat ini dicatat sejarah, telah muncul seorang tokoh, yang berbekal nepotisme minoritas, baik dari segi agama maupun etnis, namun dapat menunjukkan punya banyak uang. Majulah ia mencalonkan diri untuk merebut posisi politik yang dapat ditempuh dengan voting dan merebut suara terbanyak. Konstitusi tidak menghalanginya. Hak sebagai warga negara dilindungi UU, maka dia boleh ikut voting.
Ternyata salah perhitungan. “one man one vote” adalah bertanding siapa yang banyak dapat suara.
Faktor nepotisme adalah satu hal promordial yang hidup di masyarakat. Dan itu tidak bisa dibeli dan pantang jika diusik-usik
Selama masa kampanye, hal-hal primordial tersebut muncul kembali, setelah sekian lama tidak pernah mencuat ke permukaan, sekian lama adem-adem saja.
Hal primodial ada pada setiap lapisan dan komponen masyarakat. Dan sangat tabu diusik-usik oleh pihak lain.
Jargon Tolerasi, Moderat, Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI oleh satu pihak justru menjadi anti klimaks, menjadi sebuah tuduhan, terhadap perilaku pihak lain yang dianggapnya intoleran, radikal, anti Pancasila, anti NKRI dan anti Kebhinekaan.
Tentu ada yang memulainya. Tapi tak perlu lagi mencari-cari sumber siapa yang mulai. Akan tetapi suasana yang terjadi saat ini adalah suasana saling silang.
Jika masih berdalih-dalih antara masing-masing pihak dengan caranya masing-masing maka tentu sentimen ini tak akan selesai, walau melewati waktu dalam beberapa dekade ke depan. Putaran jaman akan terus bergerak. Generasi akan berganti. Isu-isu dan masalah juga akan berbeda-beda pada setiap generasi.
Saat ini Figur yang didaulat sebagai simbol sentral juga belum muncul wibawanya, maka rasa saling percaya menuju titik nadir.
Bisakah negeri ini muncul kembali menuju Zenith kemulyaannya?
Jawabnya: bisa, perlahan merangkak lagi, mendaki lagi, dengan semangat mencapai kemajuan dan juga harus dengan sikap “tau diri”. (DPB)



