Ijazah Jokowi dan Akal Sehat yang Terlupakan
Oleh: Fariz Maulana Akbar Direktur Jaringan Rakyat untuk Demokrasi Sehat dan Bermartabat (JARAK DEKAT)

Abadikini.com, JAKARTA – Tuduhan bahwa Presiden Joko Widodo menggunakan ijazah palsu kembali ramai di media sosial, terutama di platform X yang dulu bernama Twitter. Isu ini seperti kaset rusak yang diputar ulang terus-menerus setiap kali suhu politik memanas. Tapi mari kita berhenti sejenak, menarik napas, dan menggunakan apa yang sering dilupakan dalam perdebatan politik kita: akal sehat.
Ijazah yang Dipersoalkan, Tapi Tak Pernah Terbukti
Jokowi diketahui lulus dari Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM), tahun 1985. Ini bukan klaim sepihak. UGM sebagai institusi resmi sudah berkali-kali menegaskan bahwa Jokowi adalah alumnus sah mereka. Bahkan beberapa dosen dan teman seangkatannya pernah muncul ke publik untuk mengonfirmasi hal itu.
Kalau kita berpikir secara waras, pertanyaannya sederhana: Mungkinkah sebuah universitas besar seperti UGM memalsukan data akademik seseorang sejak tahun 1980-an, dan tidak ada satu pun yang membongkarnya selama 40 tahun?
Kalau pun ada konspirasi, jumlah orang yang harus diajak kerja sama akan sangat banyak. Dan seperti kata pepatah: “Jika tiga orang tahu, itu bukan rahasia lagi.” Apalagi ratusan.
Logika Hukum: Yang Menuduh Harus Membuktikan
Dalam logika hukum dan logika umum yang menuduh, dialah yang wajib membuktikan. Sampai hari ini, tidak ada bukti sahih yang menunjukkan bahwa ijazah Jokowi palsu. Tidak ada dokumen tandingan, tidak ada saksi kredibel, tidak ada pengakuan dari pihak UGM sendiri.
Sebaliknya, lembaga-lembaga resmi seperti KPU dan Bawaslu sudah memverifikasi semua dokumen saat Jokowi mencalonkan diri, dari Wali Kota Solo hingga Presiden RI. Dan tidak ada masalah.
Jadi kalau tuduhan terus disebar tanpa bukti, apa bedanya dengan fitnah?
Etika: Kritik Boleh, Fitnah Jangan
Saya tidak sedang membela Jokowi secara politik. Banyak kebijakan yang layak dikritik, dari proyek Ibu Kota Nusantara, kontroversi UU Cipta Kerja, sampai urusan penegakan hukum. Kritik semacam itu penting, bahkan wajib dalam demokrasi.
Tapi membangun tuduhan yang tidak berdasar hanya karena kita tidak suka pada seseorang, adalah pelanggaran terhadap nilai-nilai etis. Apalagi kalau yang disebarkan itu adalah kebohongan atau hoaks. Dalam agama, itu disebut fitnah. Dan fitnah, menurut Al-Qur’an, lebih kejam dari pembunuhan. Boleh jadi, Jokowi sendiri lebih memilih difitnah daripada dibunuh oleh para hoaker tersebut.
Menjaga Nalar Publik
Kita semua boleh kecewa, marah, atau muak pada pemimpin. Tapi jangan sampai kemarahan membuat kita kehilangan pegangan pada kebenaran.
Kalau kita membiarkan hoaks seperti ini terus hidup, maka yang rusak bukan cuma reputasi seseorang, tapi juga akal sehat publik. Kita akan hidup dalam dunia di mana siapa saja bisa dihancurkan dengan narasi kosong. Dan itu berbahaya, bukan cuma untuk Jokowi, tapi untuk siapa pun yang kelak memimpin negeri ini.
Jadi sebelum kita me-retweet atau mem-forward pesan berantai tentang ijazah palsu, tanya dulu ke diri sendiri: “Ini benar, atau cuma karena saya benci?”
Kalau jawabannya yang kedua, mungkin sudah waktunya kita diam. Bukan demi Jokowi, tapi demi warasnya republik ini.