Setop Danai WHO, Tapi Trump Ingin Jadi Pahlawan Kala Pandemi Covid-19

Abadikini.com, JAKARTA – Beberapa hari yang lalu, Presiden Amerika Serikat Donald Trump menangguhkan pendanaan untuk Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Trump mengatakan WHO melakukan kesalahan karena mendorong informasi yang salah mengenai virus corona (COVID-19).

Kesalahan WHO sejak awal, menurut Trump, adalah menyebut virus tidak menular dan tidak perlu larangan perjalanan. Trump mengkritik keputusan WHO yang menentang pembatasan perjalanan dari China sebagai hal berbahaya.

“Untungnya, saya tidak yakin dan menunda perjalanan dari China menyelamatkan banyak nyawa,” kata Trump dalam konferensi pers Gedung Putih pada Selasa (14/4/2020) lalu, dikutip dari CNBC Internasional.

Presiden ke-45 ini juga mengatakan AS sudah bermurah hati memberikan dana, namun menurutnya WHO gagal dalam memberikan informasi mengenai pandemi ini secara tepat dan transparan.

Sebagai informasi, Amerika Serikat merupakan donor terbesar bagi organisasi tersebut. Pada 2019, AS menyumbang lebih dari US$ 400 juta kepada WHO. Anggaran WHO pada 2018-2019 sendiri berjumlah sekitar US$ 6 miliar.

Sayangnya, banyak yang tidak setuju dengan penangguhan tersebut. Sesaat setelah mengumumkan pembekuan pendanaan WHO, Trump malah banjir “kutukan” dari warga. Ia dianggap sama saja membahayakan nyawa rakyat AS di tengah pandemi ini.

AS Cari Sumber Penyebaran Virus

Tak berhenti sampai sana, Trump yang awalnya meremehkan pandemi ini, kini sedang menyelidiki apakah virus yang telah menginfeksi lebih dari 2,3 juta orang sebenarnya berasal dari laboratorium di kota Wuhan, Provinsi Hubei atau bukan.

Ketidakpercayaan Trump dengan transparansi China Daratan atas munculnya pandemi virus corona menghasilkan dukungan kepada AS dari organisasi ekonomi antar pemerintah internasional Kelompok Tujuh (G7).

Kelompok G7 sendiri terdiri dari negara-negara dengan ekonomi maju, yakni Kanada, Prancis, Jerman, Italia, Jepang, Inggris, Inggris, dan Amerika Serikat.

Beberapa negara dalam kelompok tersebut juga tidak percaya dengan data dan informasi yang diberikan oleh China Daratan.

Menteri Luar Negeri Inggris Dominic Raab, yang menggantikan sementara posisi Perdana Menteri Boris Johnson yang sedang dirawat akibat COVID-19, mengatakan bahwa tidak mungkin ada “bisnis seperti biasa” dengan China.

“Kita harus mengajukan pertanyaan-pertanyaan sulit tentang bagaimana itu muncul dan bagaimana virus tidak bisa dihentikan sebelumnya,” kata Raab, dikutip dari AFP.

Presiden Prancis Emmanuel Macron juga memperingatkan untuk tidak “naif” hanya karena percaya China telah menangani wabah dengan baik. “Jelas ada hal-hal yang terjadi yang tidak kita ketahui,” katanya dalam sebuah wawancara dengan Financial Times.

Selain mereka, Menteri Luar Negeri Mike Pompeo juga mengatakan China seharusnya lebih transparan mengenai laboratorium uji coba milik mereka.

“Kami sedang melakukan penyelidikan penuh atas segala hal yang dapat kami pelajari tentang bagaimana virus ini dapat menyebar, menyebar ke dunia dan sekarang telah menciptakan begitu banyak tragedi, begitu banyak kematian,” kata Pompeo kepada Fox News.

Penyakit COVID-19 pertama kali muncul Desember 2019 di Wuhan, China ini disinyalir ditransmisikan ke manusia lewat pasar daging yang membantai hewan-hewan eksotis, termasuk kelelawar.

The Washington Post dan Fox News melaporkan adanya kecurigaan besar jika virus itu bukan berasal dari pasar hewan eksotis, melainkan dari laboratorium sensitif di Wuhan yang mempelajari kelelawar, hewan yang pernah menyebabkan wabah SARS pada 2003 silam.

China Bantah Tuduhan Trump

Tentu pihak China membantah tuduhan tersebut. Lewat teleponnya bersama Presiden Rusia Vladimir Putin, Presiden China Xi Jinping mengatakan jika menyalahkan China atas pandemi ini adalah hal yang tidak menguntungkan.

Menurut kantor berita Xinhua yang dikelola pemerintah China, Xi menyebut upaya untuk mempolitisir pandemi itu “merusak kerjasama internasional”. Putin juga ikut mengecam “upaya beberapa orang untuk mencoreng China” atas pandemi ini.

Juru bicara kementerian luar negeri China, Zhao Lijian mengutip Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dengan mengatakan tidak ada bukti virus itu diproduksi di laboratorium. “Banyak ahli medis terkenal di dunia juga percaya bahwa apa yang disebut hipotesis kebocoran laboratorium tidak memiliki dasar ilmiah,” kata Zhao.

AS sendiri merupakan negara yang menduduki posisi pertama dengan kasus corona terbanyak. Kini sudah ada 738.913 kasus terjangkit, 39.015 kasus kematian, dan 68.285 kasus berhasil sembuh sejauh ini.

Sedangkan secara global, kasus pasien positif corona sudah mencapai 2.332.036 kasus. Sedangkan angka kematian 160,767 kasus, dengan pasien sembuh hanya mencapai 599.961 kasus per Minggu (19/5/2020), menurut data Worldometers.

Sumber Berita
CNBC

Baca Juga

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker