Kini Tidak Lagi Jumawa, Golkar Tidak Lagi Juara, PR Airlangga Hartarto Lima Tahun ke Depan

Abadikini.com, JAKARTA – Terpilihnya Airlangga Hartarto kembali memimpin Partai Golkar pada periode 2019-24 membawa harapan baru bagi partai tersebut. Kendati demikian, sejumlah tantangan masih akan menghadang seiring dinamika politik yang terus berkembang.

Memang, Airlangga terpilih tanpa tantangan berarti karena semua lawannya yang telah mendaftar sebagai calon ketua umum Partai Golkar mundur sebelum bertanding. Alhasil, harapan publik untuk melihat pertarungan antara Airlangga Hartarto dengan Bambang Soesatyo (Bamsoet) yang diperkirakan berjalan seru, ternyata buyar.

Bagaimana tidak. Lobi politik kelas tinggi yang dipimpin oleh Menko Maritim Luhut Binsar Pandjaitan berujung pada aklamasi untuk sang petahana menjelang tengah malam pada Musyawarah Nasional (Munas) Golkar 3-6 Desember 2019.

Kendati calon ketua umum lawan Airlangga bukan hanya Bamsoet, karena ada sederetan nama beken lainnya seperti Agun Gunandjar Sudarsa dan Indra Bambang Oetoyo, namun hanya dua kubu tersebut yang tercatat memiliki pendukung kuat.

Kedua kubu pun sempat terlibat adu argumen untuk memperkuat posisi masing-masing kandidat menuju kursi nomor satu di tubuh partai itu.

Pertanda Aklamasi

Tidak heran pula kalau Airlangga kembali memimpin salah satu partai politik tertua itu karena mekanisme pemilihan ketua umum memang memungkinkan hal itu terjadi berdasarkan AD/ART Partai Golkar.

Apalagi, sejak awal sudah ada tanda-tanda aklamasi atau bahasa politiknya ‘musyawarah untuk mufakat’ yang  telah digaungkan para pendukung Airlangga pada perhelatan bertajuk “Kita satu untuk Indonesia”.

Kini publik sebagai stakeholder partai berlambang pohon beringin itu menunggu susunan ‘kabinet Airlangga’ untuk menggerakkan roda partai hingga tahun 2024 dengan segala tantangannya.

Airlangga menyebut setidaknya akan ada 170 kader yang akan mengisi jabatan di tingkat DPP.

Terlebih, Golkar akan menghadapi pilkada serentak 2020, kalau tidak mau menyebut pemilihan anggota legislatif (pileg) dan Pilpres 2024 yang masih lima tahun lagi.

Pertaruhan Kasus Korupsi

Golkar, yang ketika itu belum disebut sebagai partai politik, memang pernah mencapai masa jaya selama era Orde Baru di bawah Pemerintahan Presiden Soeharto.

Seiring perjalanan sejarah, era Reformasi telah mengubah corak kepemimpinan partai seiring dengan berkembangnya demokrasi.

Kini Golkar tidak lagi jumawa. Golar tidak lagi juara. Bahkan belum pernah berhasil mengusung kader sendiri menjadi Presiden RI sejak pemilu pertama era Reformasi pada 1999.

Apalagi, menurut survei yang pernah dirilis beberapa lembaga seperti LSI, angka elektabilitas Golkar berada di kisaran 13 persen dan mulai ditempel Partai Gerindra pada pemilu terakhir.

Dengan berbagai dinamika itu, tidak bisa dimungkiri Golkar kini berada di persimpangan sejarah. Beberapa kasus korupsi yang melanda para elite-elitenya telah menggerogoti raihan suara dari pemilu ke pemilu.

Sebut saja kasus korupsi e-KTP yang melibatkan pucuk pimpinan Golkar Setya Novanto sebagai sebuah contoh. Sejumlah lembaga survei turut mengonfirmasi bahwa kasus korupsi sebagai salah satu penyebab hilangnya kepercayaan publik selain perpecahan di tubuh partai.

Regenerasi dan Era Milenial

Karena itulah, figur nahkoda Golkar ke depan akan sangat menentukan jatuh atau bangkitnya partai tersebut setelah didera kedua persoalan di atas.

Airlangga yang tidak lain adalah Menteri Koordinator Perekonomian pada Kabinet Indonesia Maju harus benar-benar bersih dari kasus korupsi untuk membangkitkan citra partai.

Kalau Airlangga mampu menunjukkan kepiawaiannya dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi, tanpa kasus korupsi sebagai menteri perekonomian maka Golkar juga akan kecipratan bonus elektabilitas.

Demikian juga sebaliknya, karena pilihan masuk di pemerintahan sekaligus sebagai pemimpin partai bukan tidak punya pertaruhan yang berisiko tinggi.

Agaknya Partai Demokrat bisa dijadikan pelajaran dari sisi jabatan puncak di partai. Elektabilitas Partai Demokrat langsung terjun bebas usai sang ketua umum Anas Urbaningrum ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Januari 2014. Tidak sampai lima bulan elektabilitas partai besutan presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono itu langsung terjun bebas.

Regenerasi Pemimpin

Tantangan berikutnya adalah regenerasi kepemimpin di tubuh Dewan Pimpinan Pusat (DPP) maupun di tingkat Dewan Pimpinan Daerah (DPD).

Estafet kepemimpinan di bawah Airlangga haruslah ditempati mereka yang energik untuk mengimbangi era milenial dengan segala pemikiran anak muda yang hampir separuh (40 persen) dari jumlah pemilih.

Melihat kondisi ini, sudah sepatutnya Golkar memberikan kesempatan pada kader muda untuk mengisi posisi strategis. Dengan memberikan kesempatan pada kader muda terutama yang pro perubahan, mereka diharapkan dapat kembali mendongkrak elektabilitas partai.

Selain itu, munculnya kader muda memimpin Golkar akan dapat membawa partai menjadi lebih modern sebagaimana pernah diungkapkan oleh Bamsoet dan Airlangga dalam satu kesempatan.

Dengan mengikis kader yang korup dan memberi kesempatan lebih banyak pada kader muda untuk memimpin partai, Golkar juga harus menjadi contoh bagaimana demokrtasi dijalankan.

Demokratisasi Internal

Golkar harus memberikan jalan kompromi bagi pendapat yang berbeda selain menyediakan sarana regenerasi secara damai meski sebelum munas sempat diwarnai kubu-kubuan para pendukung calon ketua umum.

Artinya, Airlangga juga harus menggerakkan Golkar untuk melakukan proses demokratisasi internal karena kedaulatan partai harus di tangan anggota atau mereka yang secara demokratis dipilih mewakili konstituen.

Jika tidak, Golkar hanya akan memperpanjang paradoks politik yang akan menghasilkan aktor atau elite politik yang perilakunya amat jauh dari harapan publik.

Regenerasi dan demoklrasi di tubuh Golkar telah menjadi keharusan. Itu sudah menjadi tuntutan perubahan dan menjadi sebuah paradigma baru bagi Golkar yang berada di tengah-tengah masyarakat. Terlebih, partai Golkar yang sudah kaya pengalaman.

Tidak salah kalau sejumlah pengamat berpendapat kalau Golkar ingin tetap eksis, maka tuntutan untuk melahirkan generasi politik baru harus dapat diimplementasikan.

Kehadiran kader-kader muda untuk ikut mengurus manajemen Golkar mesti disambut dengan terbuka. Selain muda dalam arti usia, mereka juga harus segar dari sudut pandang gagasan.

Adalah suatu keberhasilan bila terjadi upaya untuk menghadirkan orang-orang muda dalam struktur Partai Golkar sebagaimana dijanjikan Airlangga menjelang maupun setelah terpilih menjadi ketua umum.

Keberadaan Partai Golkar yang hanya tergantung pada figur tertentu sudah tidak zamannya lagi, karena masyarakat sangat mendambakan adanya regenerasi yang berjalan secara mulus.

Kerinduan rakyat atas lahirnya sebuah generasi politik baru Golkar yang mempunyai visi kepemimpinan bersih dari korupsi sudah terlihat jelas.

Sumber Berita
Bisnis.com

Baca Juga

Berita Terkait
Close
Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker