Trending Topik

Kabinet ‘Nano Nano’

Oleh Refly Harun

Sejuta rasanya. Manis, asam, asin, semua ada. Mirip iklan pernen nano nano. Begitulah yang saya rasakan ketika menyimak nama-nama menteri yang diumumkan Presiden Joko Widodo (Jokowi), kemarin sore (26/10/2014). Tidak tahu harus mengapresiasi atau mencela. Ada nama yang sama sekali tidak dikenal publik, tetapi nama yang dikenal pun tidak semuanya ditempatkan pada bidang dan passion-nya selama ini. Seorang jurnalis televisi bertanya kepada saya berapa nilai yang pantas diberikan untuk Kabinet Jokowi dalam skala 1-10. Saya menyebut 6, tetapi Presiden Jokowi tidak lulus karena passing grade (nilai kelulusan) minimal 8.

Harus dipahami mengapa nilai kelulusan itu begitu tinggi, karena ekspektasi terhadap Jokowi sangat besar. Setelah inaugurasi yang sangat menggairahkan pada hari pelantikan tanggal 20 Oktober, baik di Rapat Paripurna MPR, kirab di jalan utama Ibu Kota, maupun pidato rakyat di Monumen Nasional (Monas), rakyat menunggu kesan pertama yang menggoda dari pilihan Presiden Jokowi atas menteri-menteri.

Ekspektasi besar tersebut ternyata tidak bertemu dengan fakta yang membesarkan hati. Tidak ada “wow factor” dari kebinet yang diumumkan tersebut yang dapat membuat publik tersenyum ceria. Kabinet Jokowi masih terlalu banyak mengakomodasi arus di luar dirinya, masih terlalu longgar menampung orang-orang partai, masih tercium didikte orang sekitar. Bayangan publik sebelumnya, kendati orang-orang parpol diakomodasi, tetapi tetap dengan prinsip the right person on the right place karena Jokowi sebelumnya hanya menyebut dua kelompok menterinya, yaitu profesional partai dan profesional murni. Tidak ada yang abal-abal alias tidak profesional.

Nyatanya tidak demikian, ada kesan orang-orang parpol yang diajukan sekadar dicarikan slot agar tetap menjabat menteri. Semacam ‘jatah’ bagi partai pendukung. Tidak terbukti omongan Jokowi soal koalisi tanpa syarat, walaupun dari perspektif politik memang tidak ada makan siang yang gratis (no free lunch), karena “politics is the science of who gets what, when, and why” (Sidney Hillman, 1944). Politik adalah ilmu tentang siapa mendapatkan apa, kapan, dan mengapa. Partai pendukung Jokowi tentu dari awal telah berimajinasi tentang slot kementerian yang bakal didapat bila mendukung wong Solo tersebut.

Kendati begitu, publik sesungguhnya tetap berharap bahwa mereka yang ditunjuk tersebut ada passion, ada track record yang panjang, ada catatan yang jelas selama ini, akan bidang yang akan ditangani. Bila ujug-ujug seseorang ditanam di area yang tidak pernah ia menjejak, negeri ini terlalu mahal untuk memberikan kesempatan pada unprofessional person menjabat jabatan mahapenting sekelas menteri, yang akan menakhodai banyak urusan di republik ini. Jokowi juga tidak benar-benar menempatkan profesional nonparpol – sering disebut profesional murni—pada jabatan yang tepat, yang sesuai dengan latar belakang pendidikan dan passion-nya selama ini.

Tidak lulus dengan lima catatan

Secara umum ada lima catatan penting bagi Kabinet Jokowi. Pertama, masih kuat kesan akomodasi politik. Kedua, tidak semua yang direkrut ditempatkan pada posisi the right person on the right place. Ketiga, masih ada menteri yang latar belakangnya potensial bermasalah, baik dalam kasus korupsi maupun soal hak asasi manusia (HAM). Keempat, ada menteri yang diragukan kemampuannya, tetapi ditempatkan pada posisi menteri utama. Kelima, ada pula menteri yang berasal dari masa lalu, yang harusnya istirahat saja untuk memberi jalan bagi yang muda, bagi generasi sekarang.

Mengenai potensi korupsi, penting dikonfirmasi kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) apakah ada menteri yang diberi stabilo merah atau kuning, tetapi tetap direkrut. Gosip-gosipnya, konon, ada, malah orang tersebut ditempatkan pada kementerian strategis, dan cukup kuat juga perannya sehingga sulit untuk dicoret. Semua catatan tersebut menjadikan saya harus menyatakan bahwa Presiden Jokowi belum lulus dalam ujian pertama terkait rekrutmen para menteri.

Kendati demikian, ada catatan yang perlu diapresiasi. Jokowi setidaknya berhasil ‘mencoret’ petinggi parpol semacam Wiranto (Hanura) dan Muhaimin Iskandar (PKB) yang telah menyorongkan diri sendiri untuk dipilih. Protes-protes masyarakat tentang kedua sosok tersebut, yang sangat ramai di media-media sosial, kiranya didengarkan sehingga Muhaimin memilih kembali ke pangkuan PKB ketimbang tetap ngotot masuk kabinet. Itu pun setelah KPK menyampaikan catatan-catatan soal calon menteri, dan publik tidak tahu apakah Muhaimin masuk barisan yang mana, apakah yang bertinta merah, kuning, atau tidak bertinta sama sekali. Sementara Wiranto, yang pada saat-sat terakhir sebelum pengumuman kabinet masih juga santer disebut akan menduduki kursi Menko Polhukkam, akhirnya juga tergusur.

Sayangnya, Jokowi rupanya juga mencoret ‘a few good men’ yang santer pula disebut akan masuk kabinet, bahkan sudah diundang untuk beraudiensi, seperti Saldi Isra, Komaruddin Hidayat, dan Mas Achmad Santosa. Ketiga sosok ini sangat dekat dengan kalangan civil society, tidak berpartai, tetapi kiprahnya bisa dijejaki. Saldi, misalnya, disebut akan menduduki kursi Menkumham setelah Hamid Awaluddin dicoret. Hamid semula kandidat kuat, tetapi lumayan kontrovesial karena pernah menjadi
Menkumham ‘separuh jalan’ dalam kabinet Presiden SBY pertama. Saldi pun akhirnyaterpental karena pos itu menjadi milik PDIP dalam diri seorang Yasonna Laoly.

Pembuktian dengan kerja dan kerja

Terlepas dari kekecewaan sebagian publik, nama-nama sudah diumumkan. Mereka yang sudah ditunjuk Presiden Jokowi itu harus membuktikan bahwa publik salah dalam menilai mereka. Pilihan Presiden Jokowi terhadap mereka bukan karena sang Presiden menghadapi banyak tekanan, tetapi murni karena mereka orang yang tepat. Pembuktiannya mudah saja. Buatlah hal-hal yang mengesankan publik pada rentang jabatan tersebut, terutama pada hari-hari pertama mereka bekerja, misalnya dalam 100 hari pertama.

Kerja lebih akan berdaya guna ketimbang sanggahan verbal. Namun, publik juga harus bersabar untuk menunggu gebrakan mereka, paling tidak dalam 100 hari pertama. Bila tidak ada perubahan berarti dalam 100 hari pertama, baiknya mereka langsung diganti. Carilah orang-orang yang memang betul-betul profesional dan ada passion (kegairahan) dalam bekerja.

Pengumuman kabinet oleh presiden mana pun pasti akan mencuatkan pro dan kontra. Tidak mungkin bisa memuaskan semua pihak. Terlebih Jokowi adalah presiden yang disokong justru oleh kekuatan nonparpol, oleh para relawan. Ekspektasi publik terlalu tinggi untuk sosok yang mengenal medan politik Ibukota baru dua tahun itu.

Dalam hari-hari ke depan setelah kabinet terbentuk, Jokowi plus JK harus membuktikan bahwa Jokowi-JK adalah kita, Jokowi-JK tetap kita, sesuai dengan klaim mereka. Jangan menjadi “Jokowi-JK bukan kita” yang akan menjauhkan dua sosok itu dari kita semua. Jangan pernah berubah karena rakyat akan kecewa dan marah.***

Baca Juga

Berita Terkait
Close
Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker