Wawancara Dengan Pelacur Tiga Jaman di Tahun 2015

Setelah lelah menyusuri Malioboro, saya beristirahat di warung tenda didepan Pasar Kembang (SarKem) Yogyakarta, saat itu jam menunjukkan pukul 19.00 WIB, semakin malam berdatanganlah ibu-ibu tua berkumpul duduk-duduk disamping tenda tempat saya minum kopi, salah satu ibu tua itu turut duduk di bangku warung tenda, ibu itu menitipkan bekel di warung, bekelnya sebotol minuman air putih dalam kemasan air mineral 1 liter.

Ibu itu membuka pembicaraan “asalnya dari mana pak, sedang jalan-jalan atau sedang dines?”, saya jawab “saya berasal dari Solo sedang bernostalgia”, lantas saya menawarkan makan “sudah makan bu, kalau belum monggo lho bu silahkan makan, nanti biar sekalian saja mbayarnya”, ibu itu tidak mau makan hanya minta kopi hitam, ibu itu asyik ngobrol dengan penjaja warung tenda membicarakan pemuda yang baru saja pergi meninggalkan warung, kebetulan saat pemuda “pidato” mengenai politik, saya juga turut mendengarkan, si pemuda itu mengutarakan seluruh uneg-unegnya bak para pakar yang bicara di acara “Jakarta Lawyers Club”.

Ibu itu tak suka dengan pemuda tadi, karena terlalu menjelek-jelekkan pemerintah, ibu itu mengatakan “lhah, dari dulu yang susah tetap saja susah, yang kaya juga semakin kaya, dari mulai pak harto, gusdur, megawati sampe pak SBY tetap saja aku mijet disini”, sambil terkekeh-kekeh si penjaja warung mengiyakan.

Setelah akrab ngobrol ngalor-ngidul saya pun mengetahui nama ibu tua tadi, sebut saja namanya Bu Minah, ia mulai menawarkan jasanya “kalau capek, monggo lho pak pijet dengan saya, nanti saya pijitin sampe ketiduran”, dengan sopan saya jawab “saya ndak biasa dipijitin bu, saya orangnya gampang geli, kalo dipijitin malah sakit semua” , walaupun saya menolak untuk menggunakan jasanya, saya memberanikan diri bertanya tarip mijitnya, kata Bu Minah”murah pak, seratus ribu, kalo sepi lima puluh ribu juga pada dikerjain”,

Lantas saya katakan kepada Bu Minah “saya beri uang seratus ribu, tapi saya minta waktu satu jam ngobrol, mau nggak bu”, dengan mata berbinar-binar Bu Minah meng-iyakan, kemudian kami bergeser tempat duduk agak mojok, tapi tetap dibangku milik penjaja warung tenda itu, yang kebetulan saat itu sedang sepi. Saya langsung mengawali pertanyaan : Saya (sy) :

“sejak kapan ibu bekerja mijet seperti ini?” Bu Minah (bm) : “sejak bapaknya anak-anak meninggal, tahun 1980” sy : “lhoh saat itu umur ibu berapa” bm :

“saya baru tiga puluh tahun, anak saya baru berumur 6 tahun dan 8 tahun” sy : “ada yang ngajak, atau ibu langsung datang kesini” bm :

“yang ngajak temen saya, awalnya saya malu, tapi karena kepepet saya nekad” sy : “saat itu masih muda, apakah laki-laki yang menggunakan jasa ibu tidak minta jasa yang lain” bm : “lhoh dari dulu sampe sekarang itu semua tamu mintanya ya yang itu pak, kalo dia ngundang ke hotel mijet itu hanya kedok aja” sy : “ibu sekarang umurnya berapa?

bm : “lha anak saya yang mbarep saja sudah lulus kuliah dan sudah bekerja, malah saya sudah mau punya cucu” sy : ” jadi sekarang umur berapa” bm : “enam puluh tiga pak” sy :

“apakah seumur ibu ini, masih ada yang berminat menggunakan jasa ibu yang lain” bm : “memang banyak yang mijet beneran, tapi kebanyakan minta jasa yang satu itu, ada juga yang ingin dikeluarin tai macannya saja, bahkan saya pernah mijit pejabat yang suka masuk tv lho pak” Saya mulai terusik dengan panjangnya waktu Bu Minah menjalankan profesinya, tiga puluh tahun lebih,…bayangkan saja setiap malam ia harus menjajakan dirinya di kedinginan malam, tapi berita baiknya, anaknya sudah lulus kuliah, dan dengan bangga Bu Minah mempunyai anak sarjana dibiayai sendiri tanpa suami.

kemudian saya melanjutkan pertanyaan : sy : “kapan ibu mau berhenti bekerja, anak-anak tau nggak kalau ibu bekerja seperti ini” bm :

“anak-anak sudah tau sejak dulu, tapi mau gimana lagi, tapi anak saya menyembunyikan pekerjaan ibunya terhadap teman-temannya, saya belum terpikir berhenti bekerja” sy : “pernah nggak, suatu malam tidak ada pelanggan atau blong sama sekali” bm :

“ya sering to pak, kalo lagi sepi, temen-temen disini sangat toleran, bagi yang menerima tamu akan membagi kepada temen-temennya yang nggak kebagian tamu, kadang ya lima ribu, kadang sepuluh ribu, pulang pasti bawa uang” sy

“rata-rata yang bekerja disini umur berapa?

bm : “kebanyakan satu angkatan, sepuh kabeh pak” sy : “apakah ibu masih bisa menikmati pekerjaan ini”

bm : “kalo tamunya bersih, sopan dan baik, ya masih lah pak, tapi kalo tamunya macam-macam malah jadi sebel” sy : “tarip komplitnya berapa bu?

bm : “200 ribu sampe 300 ribu, kalo sepi 150 ya jalani aja pak” belum sempat melanjutkan pertanyaan berikutnya dan juga belum genap satu jam, Bu Minah disamper tukang ojeg, katanya ada Job di salah satu hotel disekitar jalan Solo, langsung saja saya persilahkan untuk menunaikan tugasnya.

Dari cerita diatas, Bu Minah sudah mengalami pergantian 4 Presiden, Suharto, Gusdur, Megawati dan SBY, namun tetap saja nasibnya tak berubah, sebab Bu Minah terkunci dalam Zonanya, yaitu menikmati pekerjaannya. Sepulang dari Sarkem, hati saya dongkol yang tak berkejuntrungan, ingin menyalahkan siapa, ingin menyalahkan pemerintahkah?, apakah ingin menyalahkan Bu Minah yang tak mau loncat dari zona nyamannya?, apakah mau menyalahkan para lelaki hidung belang? ah, hidup ini pilihan, kami serahkan saja kepada Bu Minah cerita ini hanya mengabarkan, bahwa ternyata ada wanita umur 60an masih laku menjajakan “apemnya”,…… Ya Allah, kami sekeluarga mensyukuri berkahMu, dan nikmatMu…. berkahilah saudara-saudara kami yang masih kurang beruntung.

Sumber Kompasiana 

Editor
Arkan AW

Baca Juga

Berita Terkait
Close
Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker