Cerita Pemilik Rumah Usang Bertahan Hidup di Halaman Thamrin Executive Residence

Abadikini.com, JAKARTA – Rumah usang itu masih tetap sunyi. Pintu utamanya digembok rapat. Kali ini penghuni tak lagi menjawab panggilan dari luar. Di ventilasi ditemukan nomor telepon genggam beserta tulisan ‘harap hubungi Elis’.

Jurnalis merdeka.com menelepon nomor tersebut. Terdengar suara wanita paruh baya menjawab. Lalu bertanya soal identitas dan tujuan menghubunginya. Dengan nada kesal dia menegaskan tidak mau diganggu. Kami diminta pergi. Telepon pun dimatikan.

Tak lama muncul seorang pria tua berkaos merah, berjanggut putih. Naik motor membawa lima galon air isi ulang. Namanya Chairul Bahri. Ternyata dia adalah suami dari pemilik rumah.

Sambil menuruni galon Chairul bercerita soal rumahnya berada di halaman belakang Thamrin Executive Residence, Kebon Melati, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Pria 72 tahun mengaku sehari menyetok 20 galon isi ulang. Air di rumahnya kering disedot mesin air apartemen.

Chairul mengatakan, rumah milik istrinya ditempati turun temurun. Sejak zaman nenek moyangnya. Dia mengaku memiliki surat rumah dengan lengkap. Namun menolak menunjukkan.

“Lokasi (rumah kita) adanya di apartemen, tapi tanah yang kita tempati tanah kita, kalau tanah dia, kita sudah diusir, sebelum bangunan berdiri kita sudah ada di sini,” kata Chairul kepada merdeka.com yang dilansir Abadikini, Ahad (22/9/2019).

Dulunya tanah tersebut adalah pemukiman warga. Belum ada aspal. Sampai akhirnya pihak apartemen membeli tanah hingga menyisakan rumah yang hanya terlihat genteng batu bata merah tak terawat.

Chairul tetap bertahan. Dia tak terima cara apartemen membeli tanah itu sejak awal. Terkesan arogan. Istrinya sangat sakit hati. “Istilahnya dirangkul kitanya, ngomong baik-baik, enggak diintimidasi,” tuturnya sambil menggosok batu akik di tiga cincinnya.

Di sela pembicaraan, tiba-tiba datang seorang wanita memakai kerudung. Wanita itu naik motor. Baru saja menjemput bocah laki-laki sepulang sekolah. Wajahnya tampak kesal. Nada bicaranya langsung tinggi.

“Ngapain kalian, mau ngapain nih? Gua sudah pusing dicari-cari,” tegasnya.

Ternyata wanita ini adalah Elis, istri Chairul. Berusia 46 tahun. Sambil bicara Elis kerap kali menunjuk jarinya ke arah gedung menjulang. Berdirinya apartemen membuat dia dan keluarga merasa dirugikan.

“Bagaimana saya nih nenek-nenek, emang ini kan (dia pihak apartemen) buka permusuhan sama saya, saya enggak bakalan mau sama dia, sekalipun saya mati enggak akan rela saya jual ke dia (pihak apartemen),” tegasnya.

Elis lahir dan tumbuh di tempat ini. Tanah milik keluarga hingga diwariskan kepadanya. “Nenek moyang saya di sini, dari ibu saya orang sini, tapi bapak saya keturunan darah biru,” kata Elis yang mengenakan jilbab hitam.

Tanah tersebut dulunya perkampungan. Belum ada listrik, hanya mengandalkan obor. Pribumi dan warga pendatang tinggal di kawasan tersebut. Pengembang mulai melirik sekitar tahun 2005. Meminta tanah dijual. Kalau tidak digusur. Area tersebut rata dengan tanah sekitar 2009-2010. Apartemen mulai berdiri.

Namun, Elis tetap pasang badan, tak rela warisan keluarga dibayar uang. “Lama-lama warga takut, jual dengan harga semurah-murahnya,” ucap Elis.

Pembicaraan Elis tidak lama. Sambil menggandeng anaknya masuk ke dalam. Kami tidak diperkenankan masuk menengok isi rumahnya. Tak lama ia balik badan. Lagi-lagi bicara dengan nada tinggi.

“Sampai tumpah darah saya ya, sampai kematian saya, saya tetap di sini. Ini tanah tumpah darah saya dari turun menurun, ini tanah warisan, hak milik saya, jadi saya tetap di sini, enggak bakal pindah dari sini,” ujar Elis.

Kemudian, Elis menyebut ada sesuatu yang berharga di bawah tanah rumahnya. Sangat rahasia. Elis menyebutnya ‘kandungan’. Namun dia tidak membeberkan kandungan apa yang dimaksud.

“Saya buat apa harta, tanah saya banyak, rumah saya banyak, tapi saya lebih cinta sama rumah ini, karena saya mau memperbanyak amal. Sekali hidup saya, enggak ada saya mau tinggali rumah ini selangkah pun,” pungkas Elis.

Ketua RT setempat Wasroni turut memberi penjelasan. Roni sapaan akrabnya tinggal tak jauh dari rumah Elis. Sambil ngobrol santai Roni menceritakan soal tanah tersebut sebelum apartemen berdiri.

Roni mengakui bahwa Elis pribumi asli dan jauh lebih dulu tinggal bersama keluarga besarnya. Soal sertifikat Roni meminta hal itu ditanyakan langsung ke pemilik. “Kalau itu sih biasanya tanah-tanah numpang aja. Merasa dirinya berpuluh-puluh tahun,” tuturnya.

“Ya keluarga besar (Elis lah dari dulu tinggal). Kita nanya (Elis) malah dibentak. Orangnya kan begitu (Elis) temperamen,” tambahnya.

Sekian tahun berjalan, gesekan antara apartemen dan Elis meredam. Roni jarang menerima laporan keributan perebutan lahan. Terkadang, Elis juga melipir ke rumahnya berbaur dengan warga.

Roni melihat pihak apartemen membiarkan Elis hidup di halamannya. Keduanya tak mau mengalah. Saling tak peduli.

“Sekarang api lawan api kan enggak mungkin. Harus dikasih air. Arogan ya biasa,” tandasnya.

Pihak Thamrin Executive Residence saat dikonfirmasi ogah buka suara. Pertama diarahkan melapor ke customer service untuk meminta izin. Kemudian, diberikan nomor manajemen yang bersedia wawancara bersama manajer apartemen. Ditunggu hingga petang, pihak apartemen masih bungkam.

Baca Juga

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker