Mengenal Istilah Panggilan Ortu Mulai dari, Ayah, Babe, Bapak, Daddy

Abadikini.com, JAKARTA – Saya memanggil ayah saya dengan beragam panggilan. kadang ayah. kadang bapak. kadang babe, atau lebih sering saya singkat dengan sebutan be saja. kadang daddy, atau dad. bagi ayah saya, beragam panggilan itu tak membuatnya risih. yang penting, saya tak sekadar mencolek atau njawil untuk membicarakan sesuatu. dan, saya masih menghargainya sebagai orang tua yang saya panggil dengan sebutan ayah, atau bapak, atau babe, atau daddy.

“be, diaturi dhahar rumiyin …” (be, dipersilakan makan dulu)
“do u mind washing these dishes, dad?” (keberatan nggak mencucikan piring-piring ini, dad?)
“ayah, let’s have dinner!” (ayah, ayo makan malam!)
“pak, mangga tindhak sak punika …” (pak, mari berangkat sekarang)

untungnya, meski termasuk generasi super tua, ayah saya tak pernah menolak untuk panggilan dan bahasa yang campur baur itu. saya hampir tak pernah menggunakan bahasa indonesia dalam percakapan sehari-hari, kecuali dalam sebuah diskusi kecil nan serius di ruang makan, sambil makan atau ngopi dan ngeteh. selebihnya, saya menggunakan bahasa jawa krama inggil sesuai tata kesopanan bahasa jawa, dan bahasa inggris yang sering saya kawinkan dengan logat jawa.  kalau sudah begini, ayah kemudian mengajak bercanda dengan menggunakan kosakata bahasa jawa yang dicampurkan dengan logat keingris-inggrisan. hallah …

penggalan kata untuk memanggil beliau, kadang saya teriakkan dari jauh. saat ayah di kebun, dan ada telepon untuknya. atau, saat ayah ada di dapur dan handuk saya ketinggalan saat saya tengah mandi. atau, saat saya sudah di depan pagar dan ayah masih sibuk memilih topi yang serasi dengan pakaian yang akan beliau kenakan. atau, saat saya berlarian dari ujung gang di setiap sabtu pagi, saya sudah berteriak dari kejauhan.

“hello daaaaaaaaddddd!!!” (sambil berlarian kecil dari ujung gang, dan keberatan membawa beban tas di pundak, sambil kebelet pipis)
“beeeeeeeeee …. ”
“ayaaaaaaah … ”
“paaaaaaaakkkkk …”

gurat usia 78 tahun di wajahnya mengabarkan pada saya bahwa ia menikmati cara berkomunikasi dengan putri-putrinya yang lahir dari rahim generasi masa kini. ia tak risau kehilangan kebersahajaannya dengan panggilan ‘babe’ yang umumnya digunakan oleh orang-orang betawi. ia juga tak pernah mengeluh dengan ketidakkonsistenan putri-putrinya yang sejak kecil sudah ia kondisikan untuk memanggilnya dengan sebutan ‘bapak’ saja.

pagi tadi, saat mengemasi tanaman di halaman rumah. atau sore tadi, saat memberesi dapur. atau kemarin lusa, saat saya tiba kembali di jogja. atau bahkan besok, besok lusa, minggu depan, 2 bulan lagi, 10 tahun lagi. saya tak lagi punya sebutan itu untuk ayah saya. saya hanya bisa bergumam di depan pusaranya. di depan fotonya. di kamarnya yang hangat. saat membuka pintu rumah. saat di dapur dan makan sendirian.

“hello dad, hows life there? nice venue in heaven?” (hello dad, bagaimana hidupmu disana? pemandangan yang bagus di surga?)
“ayah, tandurane kula beresi nggih … ben padhang …” (ayah, tanamannya saya beresin ya, biar terang …}
“be, femi magang nulis …” (be, femi magang menulis …)
“pak, di dhahar sajen-ne … ” (pak, sajen-nya dimakan ya)

menyebut panggilan untuknya, tetapi beliau tak ada di hadapan saya, saya tetap merasa ia mendengarnya. setiap kali panggilan itu keluar dari mulut saya, rasanya sebuah batu besar menindih saya, dan seekor tawon berpindah ke rongga dada saya: s e s a k. saya belum bisa berjalan dengan ringan meski saya menyerukan panggilan itu dengan buncah riang. saya belum bisa menikmati rekahan senja meski saya menyebut panggilan itu dengan rasa hormat yang amat sangat.

pak, femi kangen bapak. iya be, femi kangen. yes, absofuckinglutely missing you, dad!!!

Sumber: Femiadi. wordpress.com

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker