People Power 1.0 Versus People Power 2.0 Dalam Pilpres 2019

PEOPLE POWER 1.0 Versus PEOPLE POWER 2.0 DALAM PILPRES 2019
Oleh : Denny JA

Jika ada politisi, intelektual atau aktivis mengancam: kami akan protes dengan menurunkan people power di jalan- jalan. Kami akan penuhi kota dengan kerumunan para pejuang.

Mereka yang berbicara seperti ini sesungguhnya hidup di zaman lampau. Ialah zaman politik 1.0 dan people power 1.0. Itu era ketika dunia sangat diukur dengan realitas fisik, penampakkan fisik, protes melalui otot. Protes rakyat pun bentuknya masih sangat jalanan.

Tapi kini datang dunia virtual. Politik sudah berubah menjadi politik 2.0. People power juga sudah menjadi people power 2.0. Protes yang lebih mengandalkan otak sudah terjadi di alam virtual atas situasi.

Lihatlah meme di instagram, facebook, dan twitter. Tengoklah komik di aneka media sosial. Dengarkanlah komen dan celetukkan di dunia virtual.

Itulah people power 2.0. Itulah suara rakyat yang sebenarnya. Gerakan people power 2.0 tak lagi perlu satu komando. Ia lahir langsung dari kesadaran individual.

Yang dipenuhi oleh people power 2.0 bukan lagi jalan-jalan raya. Yang dibanjiri people power 2.0 adalah media sosial. Dan pesan mereka sampai pada orang banyak, yang menyelinap lewat handphone masing-masing.

People power 2.0 jauh lebih menyusup. People power 2.0 jauh lebih sulit dikontrol. People power 2.0 juga lebih menyentuh karena lebih sesuai dengan spirit zaman baru.

-000-

Lihatlah contoh beberapa people power 2.0.
Misalnya beberapa meme dan komik dan video yang beredar. Ini contoh yang menjadi viral.

Prabowo mengklaim sudah terpilih sebagai presiden. Klaim itu hasil hitungan yang mereka sebut Real Count internal. Padahal quick count lembaga survei kredibel yang tak pernah salah menyatakan Jokowi yang menang.

Tanpa dikomando, people power 2.0 bekerja. Seseorang mengatas-namakan Komikkita misalnya, menurunkan dua meme. Pertama, figur seorang ibu. Di belakang ibu itu, seorang anak berlindung. Anak itu dikesankan Sandiaga Uno. Dan sang Ibu dikesankan Ibu kandung Sandi.

Ibu itu berkata lantang kepada satu tokoh, yang dikesankan Prabowo. Ujar sang ibu: “Sudah puas ya, yang ngajak maen presiden-presidenan.” Klaim Prabowo sebagai presiden dibuat lucu-lucuan seolah sedang main presiden-presidenan.

Atau komik yang kedua. Seorang guru memberi petuah pada bocah. Ujar sang guru: “Nak, belajar matematika atau fisika atau apapun, asal rajin pasti kamu bisa. Tapi satu saat kamu akan tahu. Yang paling sulit itu adalah belajar menerima kenyataan.”

Di belakang nampak seorang tokoh begitu gembira mengklaim kemenangan (padahal kalah). Tokoh yang sedang mengklaim dan belum bisa menerima kenyataan itu dikesankan Prabowo.

Lihat juga video klaim kemenangan Prabowo yang menjadi viral. Dalam video itu, pendukung Prabowo sedang antri. Mereka satu persatu memberi selamat kepada Prabowo dengan salm hormat. Tangan kanan ke atas, menempel di kening, sambil berucap: Pak Presiden.

Merespon video itu, beredar video pendek pesta perkawinan. Dalam pesta perkawinan, sudah biasa setiap tamu, mengantri menyalami sang pengantin. Tapi kini tamu mengantri mencontoh video Prabowo. Sebelum menyalami pengantin, para tamu memberi hormat, sambil mengucap: Pak Presiden.

Atau lihatlah meme soal film Endgame. Pada serial avanger sebelumnya, Thanos terkesan begitu perkasa. Ia menguasai semua batu keajaiban. Begitu banyak tokoh Avengers Thanos kalahkan.

Dalal serial Endgame, situasi berbalik. Tokoh Avanger menemukan cara berjalan ke masa silam. Mereka mengubah kenyataan, dan berbalik mengalahkan Thanos.

Digambarkan dalam meme itu, Jokowi wakil dari avengers yang akan mengalahkan Thanos. Lalu meme dihiasi perdebatan dua penonton. Mereka menonton Endgame di saat yang sama. Tapi kesimpulan mereka berbeda.

Penonton yang satu berseru: Thanos akhirnya dikalahkan. Tapi penonton lain membantah. Menurut Real Count Internal: Thanos menang. Menang sebesar 54 persen, eh.. 62 persen.

Inilah people power 2.0. Mereka bergerak dengan jenaka. Bukan kemarahan atau kebencian yang disebar. Mereka justru menyentuh lebih dalam dan cerdas soal komedi politik. Bahkan komedi kehidupan.

Pesan yang hendak disampaikan. Betapa lucunya tingkah laku kita.

-000-

Selama ini, politik ditampilkan sebagai dunia yang serius. Yang berat. Yang soal hidup dan mati.

Hal yang sama dengan filsafat dan agama. Seolah dunia pencerahan juga dunia yang berat.

Itu sebabnya mengapa kita tak menjumpai patung Budha Gautama misalnya yang sedang tertawa. Kita tak diajarkan kisah Nabi yang sedang terbahak bahak melucu.

Zaman baru adalah zaman yang rileks saja. Pencerahan, agama, filsafat, juga politik dapat disampaikan dengan rileks. Bahkan hidup juga justru lebih ringan jika dijalankan dengan rileks.

People power 2.0 dan politik 2.0 melihat politik jauh lebih rileks. Kritik dan protespun bisa ditampilkan dengan jenaka.

Tak perlu berbondon-bondong menyusun kekuatan di jalan raya. Tak perlu menunggu komando. Di era people power 2.0, individu menjadi komando bagi dirinya sendiri. Dengan jenaka, ia bisa mengkritik situasi lewat meme.

Dan astaga, kritiknya, bisa sangat meluas. Ia menyusup dalam handphone warga negara.

Dan semua kita dibuat terbahak- bahak menertawakan zaman edan. Ialah zaman yang politisinya, aktivisnya, intelektualnya, bahkan pemimpinnya semakin banyak yang lucu. Lucu karena ia mengira orang banyak begitu bodohnya.

Editor
Muhammad Saleh

Baca Juga

Berita Terkait
Close
Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker