Pengamat Pendidikan: Usul Prabowo Sekolah Libur Saat Ramadan Mundur 40 Tahun

Abadikini.com, JAKARTA – Pengamat pendidikan, Darmaningtyas menilai wacana pasangan Capres-Cawapres Prabowo Subianto-Sandiaga Uno yang akan meliburkan sekolah 1 bulan penuh selama puasa atau bulan ramadan mundur ke 40 tahun. Wacana itu sudah tidak relevan untuk diterapkan saat ini.

“Bila kelak wacana tersebut direalisakan, kita mundur ke belakang 40 tahun lalu,” ujar Darmaningtyas dalam keterangan tertulisnya, Minggu (17/3/2019).

Dikatakan Darmaningtyas, kebijakan sekolah diliburkan selama sebulan penuh di bulan Ramadan telah dicabut di masa Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef, yang menjabat dari tanggal 1 April 1978 hingga 31 Maret 1983. Saat itu Mendikbud Daoed memang mengeluarkan beberapa kebijakan di dunia pendidikan.

“Di antaranya adalah mengubah dari catur wulan menjadi semesteran, mengubah awal permulaan tahun ajaran baru dari Januari menjadi Juli , dan menghapuskan libur puasa sebulan penuh, dan juga libur usai kenaikkan kelas diperpendek dari satu bulan penuh menjadi hanya dua minggu saja,” ungkap Darmaningtyas.

Saat itu Mendikbud Daoed mengeluarkan kebijakan libur puasa untuk anak sekolah hanya 3 hari di awal bulan ramadan, 7 hingga 14 hari akhir bulan Ramadan, dan setelah bulan ramadan.

“Tiga hari awal puasa libur pertimbangannya karena orang puasa yang terberat adalah hari pertama sampai hari ketiga, setelah itu akan terasa biasa saja. Sedangkan 7-14 hari akhir dan setelah puasa dengan pertimbangan memberikan kesempatan bagi yang keluarganya akan melakukan mudik, mereka memiliki waktu yang cukup untuk persiapan mudik dan arus baliknya. Jadi pertimbangannya lebih bersifat kultural,” ungkap Darmaningtyas.

Darmaningtyas menyebut langkah Mendikbud Daoed mencabut kebijakan libur sebulan penuh di Bulan Ramadan adalah untuk meningkatkan hari efektif sekolah. Hal ini karena di Indonesia sangat banyak libur nasional.

“Sehingga kalau masih harus libur satu bulan penuh selama dalam bulan puasa, maka makin sedikit hari efektif yang kita miliki. Kecuali itu, banyak anak dan orang tua yang justru bingung mengisi kegiatan yang positif pada saat libur satu bulan penuh,” imbuhnya.

Lebih lanjut, Darmaningtyas menilai perspektif yang dipakai Sandiaga bahwa selama bulan puasa dapat dipakai untuk mengikuti kegiatan pesantren kilat dan membangun intensitas hubungan dengan keluarga adalah perspektif elitis, alias perspektif kelas menengah perkotaan. Menurut Darmaningtyas, bagi kelas bawah atau miskin perkotaan maupun pedesaan, yang hari-harinya dihadapkan pada persoalan survival, libur panjang berarti kesempatan untuk mengajak anak-anak mereka membantu mencari nafkah.

“Eranya juga sudah berubah. Pada saat Sandiaga Uno saat bersekolah di SD dulu, kesadaran individu dalam beragama belum setinggi seperti sekarang. Waktu itu orang berpuasa jarang yang sampai akhir, terlebih pada anak-anak, umumnya puasa setengah hari saja, sehingga perlu diberi semacam insentif berupa libur satu bulan penuh agar anak-anak belajar menjalankan ibadah puasa sebulan penuh pula,” jelasnya.

“Namun sejak dekade 1990-an, kesadaran individu untuk menjalankan agamanya itu tinggi. Anak-anak dalam lingkungan keluarga baru 1990-an ke sini sudah diajari berpuasa sehari penuh dan sampai satu bulan dengan tetap menjalankan kegiatan rutin mereka sehari-hari. Kepada mereka juga ditanamkan pengertian bahwa makna berpuasa yang sejati itu ya ketika dalam kondisi lapar dan minum kita mampu melaksanakan kegiatan rutin kita sehari-hari. Pada generasi ini libur puasa satu bulan penuh tidak relevan lagi, karena libur atau tidak mereka akan tetap berpuasa,” imbuhnya.

Editor
Muhammad Saleh
Sumber Berita
Detik

Baca Juga

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker