Mengapa Seluruh Dunia Memakai Lampu Lalu Lintas Yang Sama?

Dari mana datangnya lampu lalu lintas di kota-kota besar? Tentu semua tidak datang begitu saja jika tidak ada sebuah kejadian di belakangnya. Sebagai pengendara, Anda harus tahu ini, sebelum membenci lampu merah dan mencintai lampu hijau

Jauh sebelum lampu merah ini diciptakan, kala itu, pada Maret 1913, raja minyak bernama George Harbaugh mengemudi sepulang dari pesta makan malam, ia kemudian mengambil jalan ke arah Euclid Avenue, Cleveland.

Euclid merupakan sebuah jalan di USA, salah satu jalan tersebuk di kota Cleveland. dipenuhi dengan mobil, kereta kuda, pengendara sepeda, troli dan pejalan kaki, semua percaya bahwa mereka memiliki hak jalan. Harbaugh tidak melihat trem sampai menabrak roadster-nya.

Setelah kejadian itu, mengutip laman smithsonianmag, surat kabar lokal menulis berita dengan judul “It is remarkable, that the passengers escaped with their lives”. Lebih dari 4.000 orang tewas dalam kecelakaan mobil di Amerika Serikat pada tahun 1913.

Di tahun yang sama (1913), kala itu Model T sebuah mobil besutan Henry Ford menggelinding di jalanan. Sayangnya, kala itu, jalan-jalan negara masih belum dibangun untuk kendaraan yang memiliki kecepatan 40 mill per jam.

Ketika mesim tak kenal ampun bertemu di persimpangan yang padat, ada kebingungan dan seringkali terjadi tabrakan. Meski di sana ada polisi yang berdiri di tengah-tengah persimpangan untuk mengawasi laju kendaraan.

Seorang insinyur Cleveland bernama James Hoge memiliki solusi untuk semua kekacauan itu. Meminjam sinyal merah dan hijau yang sudah lama digunakan oleh rel kereta api, dan memanfaatkan listrik yang mengalir melalui jalur troli, Hoge menciptakan “sistem kontrol lalu lintas kota” pertama.

Penemuan yang baru dipatenkan 100 tahun yang lalu itu adalah pelopor perangkat yang ada di mana-mana dan tidak terdaftar, yang telah membentuk kota-kota Amerika dan kehidupan sehari-hari sejak, lampu lalu lintas itu diciptakan.

“Lampu Hoge” atau lampu lalu lintas mulai debutnya di Euclid Avenue di 105th Street di Cleveland pada tahun 1914 (sebelum dipatenkan). Pengemudi yang mendekati persimpangan itu sekarang melihat dua lampu di atasnya. Seorang polisi yang duduk di sebuah bilik di trotoar mengendalikan sinyal-sinyal itu dengan flip switch.

Kemudian, dari sana kota-kota lain pun menerapkan hal yang sama dan bereksperimen dengan memperbaiki konsep Hoge, sampai berbagai penemuan juga menyempurnakan desainnya dengan desain yang mengontrol lalu lintas untuk meningkatkan keselamatan di jalanan.

Hoge memang waktu itu belum menyematkan warna kuning di dalam lampu lalu lintas-nya. Wiliiam Potts, seorang perwira polisi Detroit yang pernah belajar teknik elektrolah yang menyempurnakan lampu lalu lintas dengan menyematkan warna kuning di dalamnya. Sayangnya, ia tidak bisa mematenkan penemuannya itu.

Pada 1930, semua kota besar di Amerika dan kota-kota kecil lainnya setidaknya memiliki satu lampu lalu lintas, dan inovasi itu kemudian menyebar ke seluruh dunia. Perangkat sederhana itu menjinakkan jalanan; Angka kematian kendaraan bermotor di Amerika Serikat turun lebih dari 50 persen antara tahun 1914 dan 1930.

Kontroversi Lampu Lalu Lintas
Meski angka kecelakaan menurun dan kota-kota lain mengikutinya hingga seluruh dunia, sebuah penemuan Hoge nampaknya tidak begitu saja diterima meski lebih dari setahun beroperasi di jalanan.

Karena sebuah departeman Jalan Raya Ohio, Amerika menggerutu bahwa sebuah kota dengan “lampu lalu litas” adalah hal yang memalukan. Apalagi banyak desa-desa di Amerika yang kala itu memuji inovasi Hoge hampir memasang lampu lalu lintas yang justru ditempatkan di tempat-tempat yang tidak semestinya. Sehingga menurut Departemen Jalan Raya Ohio itu adalah hal yang tidak berguna.

Keluhan lain pun menyatakan bahwa lampu merah adalah perangkat buruk untuk kesopanan. Jauh sebelum epidemi kemarahan jalanan saat ini, para kritikus memperingatkan bahwa para pengemudi telah menyerahkan sebagian dari kemanusiaan mereka. Di  mana, mereka tidak harus mengikuti satu sama lain atau pejalanan kaki di persimpangan yang ingin menyeberang, tetapi hanya menatap lampu dan menunggu untuk berubah warna.

Pada awal 1916, Detroit Automobile Club merasa perlu untuk menyatakan “Courtesy Week”, di mana tujuannya untuk pemuliaan bahwa pengendara diharapkan memiliki hubungan lain juga dengan manusia lainnya.

Ketika interaksi pribadi menurun, terutama cambukan modern muncul, dan melahirkan ketidaksabaran. Pada tahun 1930, seorang polisi Michigan mencatat bahwa pengemudi “menjadi semakin kritis dan tidak mentoleransi duduk di bawah lampu merah” alias tidak sabar menunggu lampu hijau tiba.

Untuk meminimalisir terjadinya kekritisan dan ketidaksabaran itu. Pada tahun 1919, seorang guru Cleveland menciptakan permainan untuk mengajar anak-anak bagaimana mengenali lampu lalu lintas. Dan hingga sekarang ini, masih terus diterapkan oleh guru-uru di dunia untuk hal itu.

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker