Fanatisme, Agama dan Cinta Dalam Gegap Gempita Dunia Sepakbola

Pokok Artikel
  • suporter terbagi menjadi lima yaitu hooligan, casual, tifosi, ultras, dan mania. Meskipun cara mendukung mereka berbeda, namun tujuan mereka tetaplah sama, to support their lovely team

BEBERAPA waktu yang lalu, saya menulis status di laman facebook pribadi. Saya menulis duplikasi dari twit seseorang dan saya bagikan di laman facebook saya. Status saya mendapat reaksi yang sangat mendalam dari beberapa fans sepakbola. Saya menulis tentang gagalnya klub juventus di serie a selama bertahun – tahun sejak 1996 silam.

Ada yang bereaksi humoria, ada yang mengamini status saya dan ada pula yang mengcounter attack dengan kata – kata dengan tujuan ingin mengejek seraya dengan bangga melawan sejarah. Saya terfokus dengan orang – orang yang berkomentar dengan mengejek. Begini, saya selalu punya landasan kuat. Bahwa sebuah tim sepakbola itu cara mengukur keberhasilannya dengan jumlah piala yang di raih. Dulu atau sekarang, piala itu menjadi tolak ukur. Karena klub sepakbola selalu dinamis, bahkan bisa bertambah sewaktu – waktu trofinya.

Mungkin ada pendapat lain soal ini, tapi itulah yang saya taruh dibenak saya soal indikator kesuksesan klub sepakbola.Dalam sebuah tulisan di media daring yang ditulis oleh Ricko, dia menulis bahwa fanatisme dalam sepak bola bukan terjadi hanya karena seseorang melihat sepak bola dari satu sisi saja, tetapi lebih dari itu. Karena ia sudah terlanjur jatuh cinta dan di dalamnya terselip satu pesan, setialah!.

Ada salah satu orang yang berkomentar di status facebook saya, dia agak ngawur. Dia bilang fans diluar Italia atau eropa itu cuma fans layar kaca, jadi tidak boleh fanatis. Begitu katanya, saya bertaruh bahwa sepakbola adalah cinta, jika sudah cinta maka harus setia. Idealnya begitu. Tetapi, ada juga yang menaruh pendapat bahwa sepakbola adalah agama.

Dalam tulisannya di fandom.id Andhika Gilang Alafgani menulis bahwa sekelompok orang di Argentina mendirikan The Iglesia Maradoniana atau Gereja Maradona. Siapa lagi “tuhan” mereka jika bukan pencetak gol kontroversial Argentina saat melawan Inggris pada Piala Dunia 1986, Diego Maradona.

Pemeluk Agama Maradona ini juga mempunyai kitab suci berupa biografi Maradona dan The Ten Commandements ala mereka sendiri. Maradona sendiri pernah nyeletuk, “Sepak bola bukan sebuah permainan maupun olahraga, tetapi sebuah agama”

Di media daring detik, Rossi Finza Noor menulis dalam tulisannya yang berjudul (Hari) Kasih sayang menurut sepakbola bahwa Di Inggris, misalnya, Anda bisa menemukan spanduk bertuliskan “MUFC, Kids, Wife, In That Order” di salah satu tribun Old Trafford. Jika diterjemahkan, spanduk itu kira-kira berbunyi: “MUFC dulu, Baru Anak, Lalu Istri”.

Nyeleneh memang memrioritaskan klub di atas anak dan istri, tapi demikianlah kenyataannya. Walau demikian, di Inggris sendiri sudah lumrah sekeluarga datang berbondong-bondong ke stadion. Justru malah dari dalam keluargalah biasanya kecintaan akan sebuah klub tertentu dipupuk dan diwariskan secara turun-temurun.

Lain lagi, dengan tulisan dari Rudy Bastam dalam tulisannya di IDN Times, suporter terbagi menjadi lima yaitu hooligan, casual, tifosi, ultras, dan mania. Meskipun cara mendukung mereka berbeda, namun tujuan mereka tetaplah sama, to support their lovely team. Suporter akan selalu berusaha mendukung secara langsung dimanapun klub kebanggaan mereka berlaga baik home atau away. Di sinilah soul dari permainan sepakbola selain dari segi bisnis.

Banyak pandangan dari beberapa penulis soal kepingan yang terjadi dalam sepakbola, berbagai sudut pandang tersaji. Namun, soal fanatisme juga mempunyai nilai sendiri. Karena cinta tak mengenal jarak, begitu juga soal kecintaan dalam sepakbola.

Dalam sebuah tulisannya di pandifootball, Muhammad Romyan Fauzan menulis jika Pada akhirnya, apa yang telah, sedang, dan akan selalu kita kagumi akan selalu berputar seperti bola. Sepakbola pun pada dasarnya permainan, yang akan selalu mempermainkan perasaan kita dengan fanatisme yang ada dalam diri masing-masing kepada yang kita kagumi.

Tentang fanatisme pada sepakbola, Johan Cruyff pernah berkata, “There is only one ball, so you need to have it.”. Karena sebuah bola, fanatisme itu muncul tanpa kita sadari. Mungkin selama masih ada sepakbola di bumi ini, fanatisme akan selalu ada, dalam sedih dan gembira.

Fanatisme itu kewajaran, jadi justifikasi terhadap kita dari orang lain itu karena ketidakmampuan dia dalam membaca situasi dan hakikat dalam mencintai sesuatu hal. Berdebat soal tim kesayangan itu wajar, jika berakhir ricuh berarti ada yang salah dalam diri kita.

Karena sejatinya, ketika tim kesayangan di cemooh oleh fans lain, mereka ada niatan terselubung dengan tujuan agar kita malu, agar kita marah dan kesal. Jika kita bertahan dalam argumen, dia dengan khidmat bilang “Lu mah gak mau kalah?” nah, akhirnya perdebatan itu menjebaknya sendiri. atau kita semua yang cinta akan sebuah tim, tidak asyik sepertinya jika hampa. Maunya mencari atau meledek tim lain yang timnya sedang menurun.

Bahkan, apapun dipersoalkan selain trofi. Seperti Gosip klubnya, skandal pemainnya bahkan dalam sebuah sistem transfer yang legal dengan opsi pembelian juga dipermasalahkan.Tidak sedikit yang baper bahkan saling ejek hingga chaos pun banyak. Itulah sepakbola. Dari A sampai Z semuanya ada.

Gumilang Hidayat
Penulis Kelas Bulu dan Pecinta Liga Serie A Italia Khususnya AC Milan

Baca Juga

Berita Terkait
Close
Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker