Partai Setan dan Ideologi Partai Politik di Indonesia

Oleh: Ali Thaufan Dwi Saputra

(Peneliti Parameter Politik Indonesia)

Belum lama ini, tepatnya Jumat (13/4/2018), salah satu tokoh reformasi 1998 Amin Rais melontarkan pernyataan bahwa di Indonesia saat ini ada “partai setan”. Berikut pernyataan Amin Rais yang penulis kutip dari CNN “Orang-orang yang anti Tuhan, itu otomatis bergabung dalam partai besar, itu partai setan. Ketahuilah partai setan itu mesti dihuni oleh orang-orang yang rugi, rugi dunia rugi akhiratnya. Tapi di tempat lain, orang yang beriman bergabung di sebuah partai besar namanya Hizbullah, Partai Allah. Partai yang memenangkan perjuangan dan memetik kejayaan”.

Secara gamblang, Amin tidak menyebut partai setan adalah partai A atau partai B. Dari pernyataan di atas, Amin menganalogikan partai setan adalah partai “besar”, meski definisi “besar” dalam konteks itu juga bias (tidak jelas). Bisa dimungkinkan, partai “besar” adalah partai yang memperoleh suara terbanyak; partai yang sedang berkuasa; atau bahkan partai yang pernah berkuasa tahun-tahun sebelumnya.

Klasifikasi partai setan dan partai Allah yang dikemukakan Amin, secara tidak langsung menambah khazanah ideologi partai politik, khususnya di Indonesia. Jika ditelusuri menggunakan al-Mu’jam Mufahros li Al-fazdi al-Qur’an karya Muhammad Fuad Abd Baqi’, kata Hizb terdapat tujuh kali dalam al-Qur’an. Adapaun kata Hizbullah ada dalam dua ayat: QS al-Mujadalah: 22 (disebut dua kali menggunakan kata Hizbu dan Hizba) dan QS al-Maidah: 56. Sedangkan kata Hizbusyaiton terdapat dua kali dalam satu ayat, QS. Al-Mujadalah: 19. Jika merujuk pada penjelasan Abi Muhammad al-Husain al-Masud al-Baghawi (wafat pada 526 H) dalam Tafsir al-Baghawi Ma’alim al-Tanzil (terbitan tahun 2002:385) kata Hizbullah diartikan sebagai Anshâr Dîn Allah (penolong agama Allah). Konteks turunnya ayat saat itu dalam mengartikan Hizbullah tentu tidak sama persis dengan istilah partai politik yang ada seperti saat ini.

Jika ditelusuri lebih jauh menggunakan pendekatan politik Islam, lahirnya sekte-sekte dan aliran Islam dalam sejarah Islam awal melahirkan munculnya partai Islam, dalam bahasa Arab: Hizb. Menurut Hatamar Rasyid (2017:157) pada awal-awal perkembangan partai politik, negara-negara Islam di Timur Tengah belum banyak membentuk partai. Mereka masih menggunakan sistem Ahl al- Hal wa Al-Aqd dalam menjalankan pemerintahan. Setelah demokrasi menjalar negara-negara Arab, negara tersebut baru membentuk partai politik. Oleh sebab itu, munculnya partai politik di Arab sekaligus menjadi babak baru lahirnya partai politik berideologi Islam.

Di Indonesia sendiri, berbagai ideologi partai politik seperti Islam, Komunis dan Nasionalis muncul sejak sebelum kemerdekaan. Ideologi ini tumbuh mengiringi perjuangan bangsa merebut kemerdekaan. Ideologi tersebut turut melawan penjajahan dan membawa bangsa ini merdeka. Setelah merdeka, ideologi partai politik terlibat ketegangan dan saling bertentangan untuk menjadi ideologi negara Indonesia.

Herbert Feith (1988:63) dalam Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965 memetakan ideologi partai politik di Indonesia dalam rantan waktu antara 1945 hingga 1955. Hasilnya, dalam kurun waktu tersebut, ada lima kelompok ideologi partai politik, yaitu: Islam, sosialisme demokrat; nasionalisme radikal, tradisionalisme Jawa, dan komunisme. Sebagai contoh, pada Pemilu pertama tahun 1955, ideologi Islam diwakili partai Masyumi dan NU; ideologi nasionalisme radikan diwakili PNI; serta komunis yang diwakili PKI.

Setelah pemerintahan Presiden Sukarno lengser, Presiden Suharto (era Pemerintahan Orba) memulai rekayasa baru dalam mengelola ideologi partai politik. Kelompok agama (Islam) dikumpulkan menjadi satu dalam wadah Partai Persatuan Pembangunan (PPP), sedangkan kelompok nasionalis radikal dan partai-partai Kristen disatukan dalam wadah PDIP. Pemerintahan Orba kemudian membentuk poros baru bernama “Nasionalis-Pembangunan” yang menjadikan Golongan Karya sebagai wadah berhimpun. Sedangkan komunisme dilarang dan ditumpas.

Golkar memandang bahwa dikotomi ideologi partai secara berlebihan akan menghambat jalannya pembangunan bangsa. Partai dengan ragam ideologi justru disibukkan dengan urusan memaksakan ideologinya untuk negara ketimbang melakukan pembangunan. Oleh sebab itu, dilakukan rekayasa ideologi. Puncaknya, pada tahun 1980-an, partai politik dan seluruh organisasi masyarakat diwajibkan menggunakan asas Pancasila. PPP yang saat itu berasas dan ideologi Islam akhirnya harus menuruti Pemerintah Orba demi eksistensinya dalam perpolitikan Indonesia.

Setelah Orba tumbang, arus kekuasaan berubah. Indonesia memasuki era baru bernama “Reformasi”. Saat itu, berubah pula ideologi partai-partai politik. Daniel Dhakidae mencatat pascareformasi muncul empat ideologi utama: Islam (seperti digunakan oleh PPP, PK dan PBB); sosialisme (seperti digunakan Partai Rakyat Demokratik); kebangsaan (seperti digunakan PDI-Perjuangan; serta ideologi pembangunan (seperti digunakan Partai Golkar).

Islam sebagai ideologi partai politik muncul kembali setelah tekanan Orba yang memaksa menggunakan ideologi Pancasila. Bahkan, saat itu banyak sekali partai-partai Islam yang muncul. Namun, kemunculan Islam yang pernah dibungkam Orba tidak dibarengi dengan lahirnya Komunis. Komunis sebagai ideologi partai tak mampu hadir kembali pascareformasi 1998.

Kini, refomasi telah berusia dua dekade. Jika melihat profil partai-partai politik yang berkontestasi di Pemilu, asas dan ideologinya mengerucut hanya pada dua: Islam dan Pancasila. Banyak pihak yang kecewa dengan ideologi partai yang hanya digunakan menjustifikasi kebenaran kelompok tertentu. Pada saat yang sama, ideologi partai politik harus berhadapan dengan perkembangan politik kontemporer yang kiat rumit, seperti: maraknya praktik politik uang dan oligarki internal partai. Bahkan pada titik nadir, muncul anggapan bahwa ideologi yang akan memenangkan pertarungan politik adalah money (uang). Akibatnya, ideologi bukan lagi menjadi penuntun jalannya organisasi kepartaian.

Kenyataan saat ini adalah: tidak sedikit masyarakat Indonesia yang “muak” dengan perilaku oknum-oknum koruptif di dalam partai politik yang mendorong munculnya sikap apatisme politik. Mereka, “kaum apatisme” ini menganggap bahwa pesta demokrasi lima tahunan baik Pilkada atau Pemilu hanya akan menjadi keuntungan pihak-pihak tertentu. Masyarakat hanya menjadi objek kampanye yang penuh janji-janji manis. Disinilah the end of ideology of political parties. Kondisi ini kemudian mumunculkan apa yang oleh ilmuwan ilmu politik baru-baru ini dengan istilah “Populisme Politik”.

Apa yang dikemukan Amin mudah dipahami bahwa pernyataannya itu bermula dari akumulasi kekecewan (atau bahkan kebencian) yang dia rasakan atas sebuah rezim. Wajar jika ia menginginkan adanya kelompok penolong agama Allah “partai Allah” (yang dalam bahasa al-Qur’an disebut Hizbullah) sebagai solusi problematika bangsa. Oleh sebab itu, Amin perlu memobilisasi massa, mendirikan partai idea-nya, merumuskan ideologi partai politik berdasar pemahaman Hizbullah yang ia pahami, serta menegaskan dan meyakinkan kepada dunia bahwa ideologi itu adalah terbaik bagi Indonesia. Ini adalah langkah kongrit untuk mengalahkan “Satanic Party” partai setan yang ia maksud.

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker