Kalau Jokowi Diktator Lenyap Itu Mahasiswa

Abadikini.com, JAKARTA – Urusan “kartu kuning” makin ramai. Perdebatan bergeser ke komentar Presiden Jokowi yang ingin mengirim mahasiswa pengacung kartu kuning, ke Asmat, Papua. Ada yang menilai omongan itu sebagai sikap otoriter. Pendukung Jokowi tentu saja tak terima. Mereka bilang, kalau Jokowi seorang diktator, nasib si mahasiwa bisa lenyap seperti tukang kritik di zaman Orde Baru.

Videoaksi Presiden BEM UI Zaadit Taqqwa memberi kartu kuning kepada Jokowi tak hanya viral tapi memanaskan jagat Twitter sepanjang akhir pekan kemarin.

Aksi Zaadit itu antara lain terkait kasus gizi buruk di Asmat yang menewaskan 72 orang. Menurut situs penganalisa cuitan, Spredfasr, sejak Jumat sampai tadi malam tagar #kartuKuningJokowi sudah digunakan labih dari 35.000 cuitan. Tagar ini memuncak pada Sabtu dan merangksek ke daftar trending topic. Kemarin, tagar ini mereda. Tapi itu tak berarti linimasa tenang. Perdebatan memanas ke komentar Jokowi yang dinilai kutang bisa menerima kritik.

Sabtu lalu, Jokowi memang mengomentari aksi Zaadit tersebut. Dia menilai aksi ini bagian dari dinamika aktivis muda. Biasa saja. “Ada yang mengingatkan, bagus sekali,” kata Jokowi. Nah, Jokowi kemudian bicara begini, “mungkin nanti, mungkin nanti, mungkin nanti ya, saya akan kirim, mungkin ketua dan anggota-anggota di BEM ke Asmat. BEM UI ya. Biar lihat betul medan yang ada di sana, kemudian problem besar yang di kita hadapi, khususnya di Papua,” imbuhnya.

Omongan ini yang bikin jagat Twitter kembali riuh. Apalagi, ide didukung anak buah Jokowi seperti Menko PMK Puan Maharani. “Mahasiswa itu mau melakukan satu kritikan, dan saya harap kritikannya membangun. Silakan saja lihat ke Asmat, bahwa kita sudah datang ke sana,” kata Puan di Wisma Atlet, Kemayoran, Jakarta, kemarin. Puan memastikan, tim-tim dari kementerian masih ada di Asmat untuk memperbaiki dan melakukan koordinasi. Sehingga tindakan yang dilakukan bukan hanya bersifat jangka pendek saja, tapi juga jangka panjang.

Usulan Jokowi mendapat sambutan meriah dari sebagian warganet. Mereka menilai usulan ini tepat agar si mahasiswa tak hanya ngritik doang. Tapi juga menyampaikan solusi. “Di ajak ke Asmat? Bagus lha biar dia melihat langsung kondisi lapangan dan minta solusi? Dan coba sekalian dia ajakin temen-temanya para dokter muda UI suruh pelayanan di Asmat pada mau ga?,” begitu komentar @alfianimakhtaf. Komentar lain nyaris serupa.

Tak begitu bagi sebagian warganet. Para pesohor Twitter ikut mengulas omongan Jokowi tersebut. Sosiolog Prof Tamrin Tomagola menilai usulan ini sama sekali tak menyelesaikan masalah. Menurut dia, akar masalah di Asmat adalah pelayanan dasar publik yang buruk dan lumpuhnya sistem pemantauan dan peringatan dini. “Ketua BEM UI adalah mahasiswa fisika bukan akhli dlm pembenahan akar masalah. Juga bukan birokrat,” tulisnya di @ tamrintomagola.

Ia kemudian mencontohkan sikap Jokowi ini seperti seorang bapak dikritik pedas oleh putrinya saat sarapan pagi. Bapaknya tersenyum dan kalem dingin bilang, “‘gimana kalau besok kamu gantikan peran saya sebagai ayah dan saya menjadi putrimu. Biar tahu rasa kamu gimana beratnya jadi ayah’,” cuitnya. Ia pun mengritik kata yang digunakan Jokowi dengan kata “mengirim”, bukan “mengundang”, bukan juga “mengajak”. “Kata ‘mengirim’ hanya cocok untuk barang atau bawahan. BEM UI bukan barang dan juga bukan bawahan Presiden,” tuntasnya. Cuitan Thamrin ditimpali oleh @bg_sems yang menilai jawaban Jokowi bukan jawaban ayah yang baik tapi jawaban seorang pendendam. “Dengan anak ngomong kok gitu kayak gak pernah punya anak aja,” cuitnya.

Perdebatan ini mengingatkan Ari Perdana dengan kejadian aksi mahasiswa tahun 1998 saat mengritik soal krisis ekonomi. Pemerintah dan yang pro pemerintah saat itu juga bertanya hal yang sama, bahwa mahasiswa jangan cuma protes, tapi kasih saran. “Bang Faisal Basri saat itu belain, masa pemerintah minta saran mahasiswa? Apa gunanya menteri dan birokrat? Mahasiswa itu menyuarakan,”  cuitnya di @ari_ap.

Sosiolog Prof Ariel Heryanto juga mengicaukan hal yang sama. Dia bilang kritik berjasa menunjuk masalah, bukan memecahkannya. Sirine kebakaran dibutuhkan, bukan untuk memadamkan api kebakaran. “Nilai sebuah kritik terhadap presiden atau gubernur tidak ditentukan apakah yang memberi kritik bisa menjadi presiden atau gubernur yang lebih baik dari pada yang dikritiknya. Tetapi sejauh mana kritik itu memberikan pemahaman yang tepat dan berguna atas sebuah masalah,” ulasnya di akun @ariel_heryanto.

Tapi tak sedikit yang menilai omongan Jokowi ini sebagai bentuk anti kritik. Seperti disampaikan @wyde12. Dia bilang, kalau benar sampai BEM UI yang dikirim ke Asmat, itu menunjukan negara tak mampu menangani kasus gizi buruk. “Apakah dengan menyuruh kelembagaan mahasiswa akan meningkatkan citra positif presiden ? Yang ada malah terlihat anti kritik dan otoriter,” ujarnya.

Para pendukung keras Jokowi, tentu saja tak setuju dengan tudingan tersebut. Aktivis Akhmad Sahal yang juga Ketum PCNU di Amerika Serikat mengatakan, andai yang diberi kartu kuning itu Erdogan, pelakunya pasti langsung dibui, atau lenyap. “Tapi Pak Jokowi legowo, malah ngajak Ketua BEM UI ke Asmat. Tapi kenapa kader-kader itu tetep saja mengidolakan Erdogan yang represif? Ya iyalah..kan mrk sealiran dengan Erdogan,”  tulisnya di @sahaL_AS.

Pengamat politik dari UIN Jakarta, Pangi Syarwi Chaniago mengapresiasi atas aksi kartu kuning tersebut. Menurut dia, aksi tersebut sebagai cara mengkritik yang halus, elegan dan efektif. Buktinya, aksi terebut langsung menjadi trending topic selama berhari-hari. “Sangat efektif mengingatkan pemerintah,” kata Pangi, saat dikontak Rakyat Merdeka, tadi malam. Selain itu, Pangi juga mengapresiasi tak ada kerusuhan yang timbul dari aksi ini. Zaadit yang melakukan aksi seorang diri juga tidak mendapat perlakuan kasar dari Paspampres. Ia juga mengapresiasi sikap Jokowi merespons hal tersebut sebagai hal yang biasa. Tidak bersikap otoriter seperti yang dituduhkan banyak orang. “Presiden sangat demokratis,” kata dia.

Pangi menyebut, di era otoriter, orang tak bisa mengritik dengan bebas. Di zaman Orde Baru misalnya, jangankan kritik, orang pulang diskusi saja bisa hilang. Fakta pemerintah ini tidak otoriter adalah tidak terjadi pembungkaman kritik, penutupan media, pemberangusan oposisi, atau tindakan-tindakan yang menihilkan hukum.

Sejauh ini, tidak pula terdapat indikasi bahwa pemerintahan dijalankan secara autokratik dengan kekuasaan memusat tanpa batas di tangan seorang pemimpin. Di semua negara demokratis, pemimpin mungkin saja mengambil kebijakan yang keliru dan pemerintahannya tidak berjalan sebaik yang diharapkan. “Namun, selama kebijakan tersebut masih bisa dikritisi publik, terlalu jauh untuk menyatakan pemerintahan tersebut sebagai suatu kediktatoran. Kritik publik masih mungkin menjadi penyeimbang kekuasaan dan alat kontrol untuk perbaikan kebijakan,” pungkasnya. (ak/rmol)

Baca Juga

Berita Terkait
Close
Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker