Berdasarkan Bukti dan Temuan BPK Ada Kerugian Negara Capai Rp 1,86 Triliun di TPK Koja

Abadikini.com, JAKARTA – Berdasarkan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI menyelesaikan audit investigatif terhadap proses pembangunan Terminal Peti Kemas (TPK) Koja Jakarta Utara. Terdapat adanya sejumlah penyimpangan serta indikasi kerugian keuangan negara pada PT Pelindo II minimal sebesar USD 139,06 juta atau setara Rp 1,86 triliun.

Temuan itu terungkap dalam pertemuan untuk menyerahkan laporan oleh BPK RI di hadapan pimpinan DPR RI, Rabu (31/1/2018). Hadir empat orang pimpinan DPR yakni Ketua Bambang Soesatyo dan tiga wakilnya yakni Taufik Kurniawan, Fadli Zon, dan Fahri Hamzah. Hadir juga Ketua Pansus Pelindo II, Rieke Diah Pitaloka.

Menyikapai hal itu BPK RI mengungkap ada penyalahgunaan dengan skema identik yang terjadi dalam praktik di TPK Jakarta International Container Terminal (JICT) dengan di TPK Koja. Kasus di JICT sudah terlebih dahulu dikupas oleh BPK lewat audit investigatif yang sudah selesai, dan temuannya juga terjadi kerugian keuangan negara.

Metodenya mirip yang dimulai dengan rencana perpanjangan yang sudah diinisasi sejak 2011 oleh Direktur Utama Pelindo II tanpa pernah dibahas dan dimasukkan dalam Rencana Jangka Panjang Perusahaan dan Rencana Kerja Anggaran Perusahaan. Hal itupun tak pernah diinformasikan dalam laporan keuangan anggaran pada tahun 2014.

Perpanjangan perjanjian kerja sama operaso (KSO) TPK Koha ditandatangani oleh Pelindo II dan Hutchinson Port Holdings (HPH), perusahaan yang dimilikit taipan dunia Li Ka Shing, tanpa melalui izin konsesi kepada menteri perhubungan. Penunjukkan HPH dilakukan tanpa mekanisme pemilihan mitra kerja yang sehrusnya. Dan perpanjangan itu ditandatangani Pelindo II dan HPH meski belum ada persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham dan persetujuan menteri BUMN,

Temuan BPK selanjutnya, adalah penujukkan Deutsche Bank (DB) Hongkong Branch sebagai financial advisor oleh Pelindo II, yang dilakukan dengan cara yang bertentangan dengan aturan perundangan. Dan DB sebenarnya tidak lulus evaluasi adminitrasi, serta terindikasi konflik kepentingan karena merangkap negosiator, pemberi utang, dan arranger.

Dalam prosesnya, valuasi bisnis yang dibuat DB diduga telah diarahkan untuk mendukung skenario perpanjangan dengan mitra lama, dengan cara menggunakan dasar perhitungan tidak valid. Dengan dampak nilai upfront fee yang diterima PT Pelindo II jadi lebih kecil dan tidak seharusnya terjadi.

“Pembayaran pekerjaan kepada DB tetap dilakukan sesuai perintah Sdr. RJ Lino selaku Direktur Utama PT.Pelindo II meskipun tidak didukung dengan bukti-bukti dokumen otentik syarat pembayaran yang telah diatur dalam kontrak,” demikian bunyi resume audit itu.

Penyimpangan itu yang diduga BPK menjadi rangkaian proses, yang berujung pada indikasi kerugian keuangan negara pada PT Pelindo II sebesar Rp 1,86 triliun.

Angka itu terdiri dari kekurangan upfront fee yang seharusnya diterima PT Pelindo II dari perpanjangan perjanjian kerja sama sebesar USD 137,47 juta. Angka itu didapat dari hasil perhitungan BPK yang dibantu oleh konsultan keuangan.

“Ditambah pembayaran biaya konsultan keuangan kepada DB yang tidak sesuai ketentuan kontrak sebesar USD 1,59 juta ekuivalen Rp21,21 miliar.”

Ketua Pansus Pelindo II, Rieke Diah Pitaloka, menyatakan bahwa temuan ini seharusnya jadi momentum bagi DPR untuk menuntaskan pembenahan perusahaan yang menangani pelabuhan di Indonesia. Hasil audit juga membuktikan bahwa kerja DPR selama ini bukanlah demi menyasar satu dua orang petinggi Pelindo II.

“Tapi demi mengembalikan muruah BUMN kita. Kalau kita bisa selamatkan Koja dan JICT, ini bisa jadi legacy kita,” kata Rieke di hadapan para pimpinan DPR. (bob.ak)

Baca Juga

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker