Menimbang Resiko Investasi Bitcoin, Profit Tinggi Resiko Tinggi

abadikini.com, JAKARTA – Investasi lewat mata uang virtual atau cryptocurrency kian diminati sebagian masyarakat di beberapa negara, termasuk Indonesia. Terlebih harga bitcoin atau mata uang virtual yang cukup populer ini pernah mencapai puncaknya pada 18 Desember 2017 lalu yakni dengan nilai USD19.511 per koin. Bahkan harga satu bitcoin lebih mahal daripada satu ons emas.

Meski mata uang virtual memberikan keuntungan yang menggiurkan, namun transaksinya tidak diatur oleh bank sentral sehingga menimbulkan risiko yang cukup tinggi. Investasi di mata uang virtual ini bisa diibaratkan roller coaster karena gerak imbal hasilnya yang begitu cepat naik atau turun, termasuk gunjingan yang muncul karena dianggap sebagai investasi yang tidak aman.

Direktur Riset CORE Indonesia Piter Abdullah menilai penggunaan mata uang virtual rawan digunakan untuk transaksi ilegal, pencucian uang, dan terorisme. Kerawanan ini terjadi lantaran hingga saat ini belum ada otoritas resmi di suatu negara yang mengatur dan mengawasi penggunaan mata uang virtual.

“Kepada siapa kita akan meminta pertanggungjawaban ketika harganya jatuh. Belum ada otoritas (resmi di suatu negara) yang mengawasi ini,” tegas Piter di Jakarta, Jumat, (26/1/2018).

Selain berisiko, investasi di cryptocurrency juga sarat akan spekulasi karena tidak terdapat administrator resmi, tidak terdapat underlying asset yang mendasari harga virtual currency, dan perdagangan sangat fluktuatif sehingga rentan terhadap risiko penggelembungan (bubble). Hal ini dapat memengaruhi kestabilan sistem keuangan dan merugikan masyarakat.

“Ini enggak jelas siapa yang menerbitkan, yang beli juga enggak jelas, risikonya besar sekali. Namanya uang virtual itu bukan untuk komoditi investasi. Uang itu adalah alat pembayaran. Intinya di situ,” tegasnya.

 

Bitcoin Bukan Mata Uang Virtual

Namun, CEO Bitcoin Indonesia Oscar Darmawan menegaskan bitcoin tidak tepat disebut sebagai mata uang virtual melainkan digital aset. Ia menyamakan cara kerja bitcoin dengan sistem pembayaran Visa dan MasterCard yang sudah dikenal di seluruh dunia.

Untuk pembentukan harganya, nilai bitcoin didasarkan pada permintaan dan suplai. Ketika ada permintaan dan suplai baru terbentuk suatu harga. Artinya kalau permintaannya bertambah, harganya ikut naik. Mekanisme investasi bitcoin, lanjutnya, lebih kepada mempertemukan antara pembeli dan penjual.

“Mirip dengan marketplace di mana semua orang menentukan harga beli dan jualnya berapa, itu lebih kayak komoditi,” jelas Oscar.

Oscar pun tak sependapat bila investasi menggunakan cryptocurrency dianggap dapat merugikan pemerintah atau mengancam kedaulatan negara. Pasalnya, bitcoin merupakan produk teknologi yang tidak bergerak sebagai mata uang melainkan komoditas seperti emas dan perak.

“Sepertinya mereka salah memahami. Ini bukan mata uang tapi digital aset. Sama seperti emas dan perak. Dua itu tidak mengancam kedaulatan negara. Saya rasa itu kesalahpahaman karena teknologi tidak bergerak di mata uang,” jelasnya.

Menanggapi hal itu, Direktur Riset CORE Indonesia Piter Abdullah menilai bitcoin dan jenis mata uang virtual lainnya tidak sama dengan emas atau perak. Pasalnya, uang virtual tidak memiliki wujud fisik dan berbeda dengan emas dan perak yang ada wujud fisiknya. Artinya, bila nilainya anjlok maka tak ada pihak yang bisa mempertanggungjawabkan hal tersebut.

Kecuali jika bank sentral menerbitkan mata uang virtual khusus seperti di negara-negara maju. Mereka menerbitkan digital currency sentral bank sehingga ada pertanggungjawaban dari pihak otoritas. Hal itu dianggap penting agar masyarakat yang membeli uang virtual bisa terjamin keamanannya.

“Lebih gampang lagi kita menjawabnya kalau emas dan perak ada nilai dan wujudnya. Ini kan virtual terus mau percaya sama siapa. Kalau saya enggak pernah akan percaya dengan uang seperti itu,” tegas Piter.

Senada dengan Piter, Pengamat Bitcoin Vinsensius Sitepu mendukung keputusan Bank Indonesia (BI) yang melarang penggunaan bitcoin sebagai alat pembayaran di wilayah Indonesia. Hal itu tertuang dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang yang menyatakan bahwa rupiah adalah satu-satunya alat pembayaran yang sah di Indonesia.

Menurutnya selama cryptocurrency belum menjadi mata uang resmi untuk pembayaran transaksi yang dilegalkan maka risiko untuk memperdagangkan mata uang digital itu lebih tinggi dibandingkan dengan jual beli mata uang asing pada umumnya.

“Karena itu sesuai dengan amanat UU, sudah ada regulasi. Secara ekonomi bisa merugikan karena belum ada otoritas yang mengawasi,” kata Vinsen.

Namun demikian, Vinsen menambahkan, ada kemungkinan bitcoin dan mata uang virtual lainnya digunakan sebagai komoditi intangible dengan format digital. Maksudnya mata uang virtual digunakan sebagai instrumen investasi di mana orang mendapatkan keuntungan melalui selisih antara harga jual dan beli.

“Itu bisa dilihat sebagai komoditas bukan alat pembayaran, praktis dia sebagai instrumen investasi. Kalau komoditi yang seperti saham itu justru menguntungkan negara,” ujar dia.

 

Aladin Capital Garap Mata Uang Virtual di Indonesia

Di sisi lain, meski Pemerintah Indonesia sudah mengeluarkan larangan secara tegas terkait transaksi pembayaran hingga investasi menggunakan mata uang virtual, namun Aladin Capital, perusahaan investasi asal Amerika Serikat (AS), tetap meluncurkan instrumen investasi berbasis uang virtual atau cryptocurrency yang dibalut MLM.

Serupa dengan bitcoin, Aladin memiliki Aladin Coin sebagai mata uang virtual internasional dalam berinvestasi. Tapi tidak semua orang bisa langsung membeli Aladin Coin sebagaimana cryptocurrency lainnya.  Anak usaha Aladin Trust itu menggunakan izin sertifikasi internasional sebelum mendirikan kantornya di Indonesia

“Kita belum berani karena enggak ada regulasi, target saya punya kantor terus kita akan sowan (ke regulator) nasional (seperti) ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK), (Kementerian Keuangan (Kemenkeu), dan BI. Kalau sudah ada regulasinya kita enggak akan tanggung-tanggung bikin ATM di Indonesia,” ungkap dia

Merespons adanya keinginan Aladin Caiptal, Otoritas Jasa Keuangan pun akan memeriksa izin perusahaan tersebut. Hal ini sejalan dengan ketentuan bahwa seluruh lembaga jasa keuangan yang akan meluncurkan produk keuangan harus melaporkan diri ke OJK. Ini berfungsi untuk menyaring produk yang berisiko atau tak berisiko.

“Kalau Aladin Capital itu bergerak di jasa keuangan, ya kita awasi. Mau luncurkan produk, mereka harus lapor. Sekarang saya belum tahu, saya cek dulu apakah dia termasuk jasa keuangan yang diawasi OJK atau tidak,” kata Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso, di Jakarta, Kamis, (25/1/2018).

Sumber: Bank Indonesia

Sebelumnya, Kemenkeu menegaskan penggunaan mata uang virtual berbasis distributed ledger technology, seperti bitcoin berpotensi mengganggu stabilitas sistem keuangan. Pasalnya transaksi mata uang virtual yang spekulatif dapat menimbulkan risiko pengggelembungan nilai.

Senada dengan Kemenkeu, BI menegaskan bahwa sebagai otoritas sistem pembayaran, BI melarang seluruh Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran (PJSP) untuk memproses transaksi pembayaran dengan mata uang virtual. Hal yang sama juga berlaku bagi penyelenggara Teknologi Finansial (fintech) di Indonesia baik bank maupun lembaga selain bank.

Berdasarkan data BI, kapitalisasi pasar bitcoin saat ini mencapai USD246 miliar, sedangkan ethereum sebesar USD133 miliar dan ripple USD79 miliar. Dari CoinMarketCap, kapitalisasi pasar seluruh mata uang virtual mencapai USD752,542 miliar hingga 13 Januari 2018.

(beng.ak/abd)

 

Baca Juga

Berita Terkait
Close
Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker