Dana Segar untuk Industri Film

Kerja sama sineas lokal dan asing, terutama dengan konsep pendanaan bersama (co-financing), diprediksi akan semakin menjamur. Sementara investor di bidang ekshibisi (bioskop) mengincar “kota kedua”.

Sejak Daftar Negatif Investasi (DNI) resmi direvisi Presiden Joko Widodo pada 12 Mei 2016, pintu bagi investor asing menanam uangnya di industri perfilman Indonesia dibuka lebar. Pihak asing bisa ikut berinvestasi penuh dalam subsektor perfilman, yaitu produksi, distribusi, dan eksebisi (pertunjukan film/bioskop).  

Dengan jumlah penduduk lebih dari 250 juta jiwa dan terbuka pada dunia luar, Indonesia jelas pasar empuk bagi investor luar negeri. Meski perfilman belum memberikan kontribusi maksimal bagi perekonomian nasional (Produk Domestik Bruto/PDB masih kurang dari 1%), namun Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) mencatat bahwa pada 2015-2016, industri perfilman tumbuh 10,28%.

Tahun ini, pertumbuhannya juga menggembirakan. Pertanda paling jelas adalah dengan cukup banyaknya minat investor asing dalam subsektor produksi film. Contoh paling jelas adalah ikut sertanya Fox International Pictures (FIP) dalam pendanaan bersama dengan Lifelike Pictures untuk pembuatan film Wiro Sableng 212. FIP adalah bagian dari perusahaan studio besar Hollywood 20th Century Fox.

Pengamat film nasional Yan Widjaya menyebut, FIP membenamkan uang senilai USD1 juta (Rp13,6 miliar) untuk film ini. Nilai yang sama juga diberikan LifeLike Pictures untuk film yang kabarnya akan dibuat dalam bentuk trilogi ini.

Sebelumnya, CJ E&M yang dulu bernama CJ Entertainment sudah lebih dulu menjadi investor beberapa film Indonesia, meski jumlahnya tak semasif FIP. Terakhir, perusahaan raksasa Korea Selatan yang fokus di bidang media dan hiburan ini ikut serta dalam film horor Indonesia terlaris sepanjang masa garapan Joko Anwar, Pengabdi Setan.

Menurut Yan, dari tiga subsektor perfilman, produksi memang yang akan paling menarik minat pihak asing untuk berinvestasi. “Ini sudah banyak terjadi di luar negeri. Amerika Serikat banyak membiayai film Bollywood, sementara China juga sering melakukan produksi bersama Hollywood,” ujarnya.

Sebenarnya, sejak lama film Indonesia juga sudah bersentuhan dengan bantuan pihak asing dalam memproduksi film. Hanya saja karena saat itu masih terikat DNI, sistem bantuan hanya berupa hibah, yang nilainya tentu sangat terbatas. Film Joko Anwar lainnya, A Copy of My Mind, adalah salah satu yang mendapat hibah dari CJ Entertainment senilai USD10.000 (kurang dari Rp150 juta).

“Pembukaan sektor produksi (bagi asing) memungkinkan investasi dana yang lebih besar, sehingga bukan hanya memberikan kesempatan untuk memproduksi film dengan biaya lebih besar dan berkesinambungan, tetapi juga transfer ilmu dan sumbangan pendapatan negara,” ungkap Sheila Timothy, produser Wiro Sableng 212 sekaligus Ketua Asosiasi Produser Film Indonesia (APROFI), dalam sebuah kesempatan saat mengomentari revisi DNI.

Untuk melancarkan sistem pendanaan bersama ini, Bekraf untuk pertama kalinya juga mengadakan program Akatara Indonesia Film Financing Forum pada 15-16 November lalu. Menurut Kepala Bekraf Triawan Munaf, program ini ibarat biro jodoh bagi pemilik ide cerita dengan calon investor dari dalam maupun luar negeri. Bekraf merencanakan menggelar program ini dua kali dalam setahun.

Tawarkan Waralaba Bioskop
Sementara itu bidang ekshibisi atau pertunjukan film boleh jadi adalah domain yang paling bergairah dalam lima tahun terakhir. Dalam kurun waktu tersebut, tumbuh lima jaringan bioskop baru, yaitu Cinemaxx, Platinum Cineplex, New Star Cineplex, Flix Cinema, dan yang terbaru Kota Cinema Mall. 

Sebelum itu, hanya ada jaringan raksasa Cinema 21 yang dibangun sejak 1987. Diikuti Blitzmegaplex tahun 2006, yang namanya berubah dari CGV Blitz, lalu kini menjadi CGV Cinemas setelah dimiliki oleh perusahaan Korea Selatan CJ CGV.

Selain kedua jaringan besar ini, ada pula pemain lainnya yang datang dari beragam latar belakang. Awalnya memang baru taipan industri perfilman Raam Punjabi, lewat perusahaannya, Tripar Multivision Plus, yang mendirikan Platinum Cineplex pada 2012. Namun, sejak 2014, raksasa properti seperti Lippo Group dan Agung Sedayu Group pun tertarik terjun ke bisnis bioskop.

1 2Laman berikutnya
Sumber Berita
Seputar Indonesia

Baca Juga

Berita Terkait
Close
Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker