Memahami Isu Politik Uang Munas KAHMI di Medan dalam Perspektif Parpolisasi

Oleh:
Muchtar Effendi Harahap
Network for Suoth East Asian Studies (NSEAS)

 

 

Peristiwa Munas KAHMI di Medan sejak awal telah terlanda dinamika kontroversial di kalangan Alumni HMI. Kontroversial pertama, sejumlah fungsionaris Majelis Nasional dan Majelis Daerah KAHMI menjumpai Jokowi, dan bermohon-mohon kepada Jokowi agar Almarhum Lafran Pane sang Pemrakarsa HMI disahkan menjadi Pahlawan Nasional. Kedua, kehadiran Jokowi pd pembukaan Munas KAHMI di Medan. Tentu saja alumnus HMI anti Jokowi kecewa berat atas sikap KAHMI terhadap Jokowi ini. Ketiga, segera setelah pemilihan Presedium dlm Munas mencuat isu politik uang. Hal ini menjadi kontroversi sesama Alumni HMI. Politik uang dlm pemilihan 9 anggota Presedium ini menjadi isu nasional dan diperbincangkan bukan saja di media sosial dan massa. Apakah terjadi politik uang?

Menurut satu sumber, di tempat Wapres Jusuf Kalla selaku Ketua Majelis Dewan Etik, ada pertemuan terbatas pada  Rabu (22/11/2017). Hadir pada pertemuan itu antara lain: Laode Kamaluddin, Nazaruddin Nasution dan Mahfud MD.

Hasil pertemuan tersebut ternyata ada money politics atau politik uang di Munas KAHMI di Medan. Pertemuan  meminta agar aturan etik ditegakkan melalui Majelis Etik dan Pansel. Intinya, pertemuan itu sepakat ada politik uang dalam pemilihan presidium dalam Munas KAHMI di Medan.

Bagaimana kita memahami isu politik uang di KAHMI ini?

Isu politik uang melanda Munas KAHMI dapat dipahami dalam  perspektif parpolisasi pemerintahan, dunia usaha dan masyarakat madani. Perspektif parpolisasi menunjukkan kader-kader parpol tidak saja menduduki jabatan legislatif dan eksekutif melalui pemilihan raya, tetapi juga jabatan-jabatan strategis masyarakat madani seperti ormas NU, Muhammadyah, KNPI, dll. KAHMI sebagai ormas madani ternyata sudah menjadi sasaran penempatan kader-kader parpol bukan saja sejak Munas di Medan, tetapi jauh sebelumnya, terutama di era reformasi.

Salah satu kualitas dan karakteristik parpolisasi baik di pemerintahan, dunia usaha maupun masyarakat madani adalah prilaku transaksional atau tawar menawar materi non cita-cita. Kultur politik terbangun adalah kultur transaksional yang puncaknya disebut sebagai kultur politik uang, dalam batas-batas tertentu diklaim sebagai  biaya politik (political cost). Kultur transaksional  ini jelas tidak sesuai dengan prinsip moralitas politik demokrasi, yang mengutamakan penegakan hukum,  jujur, adil, transparan, akuntabilitas, dan supremasi hukum, bahkan kompetensi (pengetahuan, pengamanan kerja dan integritas).

Munas KAHMI di Medan lalu menjadi kontroversial karena tingkat perilaku transaksional berlaku dalam pemilihan anggota presidium, tidak semata dalam modus biaya politik, tetapi pemberian uang kepada pemberi suara. Isu ini menjadi menarik dan seksi karena prilaku itu berlaku pada KAHMI yang acapkali diklaim sebagai organisasi insan akademis dan  bernafaskan Islam.

Kultur transaksional ini sudah lama berlaku pada kehidupan kepartaian. Hal ini juga diakui kalangan ilmuwan politik Indonesia yang percaya dengan teori politik kartel kepartaian.

Masalahnya, jika berlaku politik uang bersumber dari kultur politik kepartaian, maka prilaku pimpinan KAHMI tidak akan berorientasi cita-cita perjuangan HMI-KAHMI sesuai dengan visi, missi dan program. Apalagi melaksanakan cita-cita untuk mensejahterakan kehidupan sosial ekonomi ummat dari kemiskinan dan ketidakadilan, hal itu sangat jauh dari realitas obyektif. Bahkan yang terjadi selama ini para kader Parpol di Majelis Nasional KAHMI hanyalah sebagai  pajangan pencitraan tanpa aksi dan kegiatan berarti untuk penguatan kelembagaan KAHMI. Kultur transaksional ini lebih mengutamakan kepentingan diri pimpinan ketimbang massa anggota. Kultur transaksional ini tidak demokratis dan mengabaikan kedaulatan anggota, dan melembagakan pragmatisme politik.

Apakah perilaku transaksional ini benar? Dari perspektif politik atau kebijakan, jelas prilaku ini tidak benar, salah dan tidak bermoral.

Bagaimana dari perspektif hukum? Saya belum bisa menjawab, karena saya bukan Sarjana Hukum. Tetapi, Egi Sujana melalui japri WA ke saya, menegaskan perilaku politik uang itu bertentangan dengan prinsip hukum. Dia berencana mau melakukan gugatan perdata.

Egi Sujana menilai, ada beberapa oknum presidium KAHMI melakukan politik uang. Jika kasus ini tidak dibicarakan, Egi sebagai Advokat juga Presidium KAHMI pada Munas di Medan dapat melakukan gugatan perdata atas dasar pasal 1365 KUHPerdata. Mengapa? Bagi Egi, karena ada perbuatan melawan hukum dan menimbulkan kerugian bagi orang lain. Juga, lanjut Egi, tuntutan pidana dengan praktek suap. Egi kemudian, bermohon kepada Dewan Etik segera bekerja untuk mencopot oknum Presidium yang melakukan politik uang tsb. Lalu, laksanakan  pemilihan ulang untuk Presidium.

Egi mau lakukan gugatan perdata ini masih prakarsa, belum aksi konkrit. Adalah sangat membantu bagi pencari kebenaran jika Egi benar-benar lakukan gugatan perdata. Masalahnya akan terang benderang.

Baca Juga

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker