Seandainya Gugatan Uji Materi UU Pemilu yang Diajukan Yusril Ditolak MK

abadikini.com, JAKARTA – Lambat laun perhatian masyarakat mengenai uji materi UU Pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK) yang diajukan oleh pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra teralihkan oleh fenomena saling serang antar elit politik.

Dalam waktu yang hampir berdekatan dua orang politisi dari partai politik yang berbeda melontarkan pernyataan yang mengakibatkan kegaduhan yang berujung pada pelaporan kepada pihak yang berwajib kepada dua orang yang bersangkutan.

Pertama, Arief Poyuono politisi dari Partai Gerindra yang menyebut Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) mirip dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Kedua, video pidato politisi Partai Nasdem Victor Laiskodat yang bernuansa fitnah dan syarat ujaran kebencian menuduh sejumlah partai politik, yakni Gerindra, Demokrat, PAN dan PKS berada di belakang kelompok ekstrimis antiPancasila yang tidak jauh berbeda dengan PKI.

Dua fenomena politik yang memiliki pola nyaris sama dan hanya berbeda aktor dan kubu saja ini dapat dikatakan sebagai bagian dari warming up dan psy war menuju Pemilu 2019.

Di kesempatan terpisah Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo merasa prihatin dengan fenomena belakangan ini. Tjahjo menyerukan agar elit politik segera mengakhiri aksi saling fitnah, saling lontarkan ujaran kebencian satu sama lain. Tjahjo pun mengajak elit politik agar saling beradu gagasan, beradu program untuk membangun negara sekaligus mendulang simpati rakyat menjelang Pemilu 2019.

“Saya mengharapkan marilah adu konsep, adu program untuk membangun negara dengan baik dalam sebuah sistem pemerintahan presidential yang efektif dan efisien,” kata Tjahjo di sela-sela Rapimnas Pertama Partai Hanura di Bali, Jumat (4/8/2017).

Membatasi Pilihan Rakyat

Menurut pengamatan Muchtar Effendi Harahap, peneliti senior dari Network for South East Asian Study (NSEAS) menuturkan, apabila MK menolak gugatan uji materi atas UU Pemilu yang diajukan oleh Yusril, jelas Muchtar Effendi, makna substansial yang ada adalah kelompok oligarki di Indonesia berhasil membatasi pilihan rakyat kecuali pilihan mereka sendiri. Demokrasi pun hanya akan menjadi prosedural.

“Perilaku parpol kian melembaga transaksional dan kartel. Kultur korupsi kader parpol terus akan berlangsung di lembaga legislatif,” jelas Muchtar Effendi, Kamis (3/8/2017).

Saat ditanya, misalkan gugatan uji materi tersebut ditolak oleh MK, maka skenario dan poros koalisi macam apa yang terbentuk pada Pilpres 2019?

“Khusus Pilpres, hanya bisa maksimal tiga pasang (jika gugatan uji materi UU Pemilu ditolak MK),” jawabnya.

Muchtar Effendi menguraikan, poros koalisi pertama terdiri dari PDIP, Golkar, Hanura, Nasdem dan mungkin juga PPP dan PKB, poros koalisi ini tentu akan mengusung Jokowi sebagai calon presiden. Poros koalisi kedua terdiri dari Gerindra dan PKS yang akan mengusung Prabowo sebagai calon presiden.

“Ketiga, paling mungkin pasangan atas kemauan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) atas dukungan Partai Demokrat dan PAN, atau mungkin juga dari PPP atau PKB,” urainya.

Menurutnya, jumlah maksimal sesuai realitas objektif perilaku politik belakangan inilah yang membuat prediksi dan skenarionya, maksimal  hanya ada tiga poros koalisi pada Pilpres 2019 mendatang. Itupun, lanjut Muchtar Effendi, selama SBY punya keinginan untuk membuat poros koalisi tersendiri yang terpisah dari Prabowo (seperti skenario pada Pilgub DKI Jakarta 2017 putaran pertama). (beng.ak)

Baca Juga

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker