Jalan Tengah Presidential Threshold

Oleh Sabar Sitanggang,
Pemerhati masalah sosial politik  dan Program Doktor Sosiologi UI 

Salah satu isu krusial selain alokasi kursi per daerah pemilihan (Dapil) dan sistem konversi suara dalam perumusan pasal-pasal Rancangan Undang-Undang tentang Penyelengaraan Pemilu adalah ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold). Secara sederhana dapat dirumuskan bahwa terhadap isu ini sikap fraksi-fraksi di DPR terbagi ke dalam dua kelompok: Setuju dan tak-setuju, dengan pemberlakuan ambang batas pencalonan presiden.

Kelompok fraksi yang setuju mendasarkan argumennya pada perlu dan pentingnya penguatan sistem pemerintahan presidensial, dicerminkan dalam dukungan yang kuat dari rakyat dan dibuktikan dengan perolehan suara yang signifikan kursi suatu partai politik di parlemen.

Sementara itu, kelompok fraksi yang tak-setuju mendalilkan argumennya atas adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 yang menyatakan bahwa beberapa pasal dalam UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden terkait pelaksanaan Pileg dan Pilpres yang terpisah yakni: Pasal 3 ayat (5), Pasal 14 ayat (1) dan (2), dan Pasal 112, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Akibatnya, memunculkan kembali syarat ambang batas pencalonan presiden dalam pemilu yang akan digelar serentak menjadi tidak relevan, bahkan tak masuk akal.

Kedua kelompok fraksi ini sampai lobi-lobi terakhir masih bersikukuh dengan pendapatnya. Bahkan, bila tidak terdapat kata sepakat, akan dilakukan pemungutan suara (voting) untuk menentukan putusan akhirnya. Pertanyaan pentingnya adalah, “Adakah jalan tengah untuk menyelesaikan soal ambang batas pencalonan presiden pada pemilu serentak tahun 2019 ini?”

Jalan Tengah
Andai pilihan terakhir adalah voting untuk menentukan ada–tidaknya ambang batas pencalonan presiden, dari komposisi jumlah anggota fraksi pengusul dan penentangnya, dapat diperkirakan akan dimenangi oleh kelompok pengusul adanya ambang batas. Persoalannya adalah, pasal yang yang akan dihasilkan dalam UU yang baru itu nantinya akan sangat mudah dibatalkan dalam uji materi di Mahkamah Konstitusi, karena pasal itu akan ‘sejenis’ normanya dengan pasal-pasal dalam UU Nomor 48 Tahun 2008 yang telah dibatalkan dan dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Karenanya, upaya ‘mati-matian’ fraksi-fraksi pengusul pun akan sia-sia pada akhirnya.

Sebenarnya, menurut penulis, masih ada jalan tengah di antara kedua kubu ini. Jalan tengah itu adalah jalan kompromi yang insyaallah bisa mengakomodir kepentingan kefus kelompok fraksi. Jalan tengah itu pada intinya bahwa ‘Pemilu legislatif dan Pemilu Presiden tetap bisa dilaksanakan serentak, tapi juga ambang batas “pencalonan” presiden pun tetap  bisa diberlakukan!’
Bagaimana teknisnya? Secara sederhana bahwa setiap peserta pemilu dapat mencalonkan pasangan Presiden/Wakil Presiden tanpa ambang batas, tetapi pasangan Presiden/Wakil Presiden yang bisa ikut dalam tahap berikutnya atau ditetapkan sebagai terpilih, adalah pasangan yang partai pengusulnya melampaui ambang batas parlemen, parliamentary threshold, seperti kesepakatan antar fraksi, yakni 4 persen.

Seperti dipahami, bahwa sesuai amanat norma UUD 1945 dan Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013, maka Pileg dan Pilpres harus dilaksanakan serentak. Secara teoretis adalah musykil menerapkan ambang batas pencalonan presiden yang didasarkan pada perolehan suara legislatif, karena bersifat post pactum, diketahui setelah selesai pelaksanaan pileg.

Karenanya pula, mencalonkan pasangan Presiden/Wakil Presiden adalah hak partai politik peserta pemilu. Hal ini ditegaskan oleh Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 menyebutkan bahwa, “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.”

Meskipun demikian, dengan alasan seperti yang diajukan kelompok pengusung ambang batas pencalonan presiden, norma dalam UUD 1945 dan Putusan MK di atas dapat disiasati. Hak untuk mencalonkan pasangan Presiden/Wakil Presiden yang dimiliki partai peserta pemilu tidak dilanggar, tetapi dengan catatan ada tambahan norma! Dan norma itu adalah, “Pasangan Presiden/Wakil Presiden yang diajukan oleh partai peserta pemilu dapat dipilih dan ditetapkan sebagai Presiden/Wakil Presiden bila partai pengusulnya memenuhi ambang batas parlemen”.

Dengan cara ini maka hak partai peserta pemilu untuk mencalonkan pasangan Presiden/Wakil Presiden tak hilang, sementara niat ambang batas yang diusulkan sebagian fraksi terpenuhi. Dan yang terpenting, bahwa amanat UUD 1945 dan Putusan MK terkait pemilu serentak terpenuhi.

Rasionalitas Jalan Tengah
Mengapa cara ini, bisa ditempuh?  Apa rasionalitasnya? Pertama. Dengan alasan untuk memperkuat sistem pemerintahan presidensial, dimana salah satu cirinya adanya dan cukup wakil partai politik di parlemen yang akan mendukung presiden terpilih, maka pilihan jalan tengah menjadi logis. Catatan 2 pemilu legislatif, 2009 dan 2014, telah memberi ajar. Penerapan ambang batas parlemen 2,5% pada Pileg 2009 telah memaksa Hamdan Zoelva (PBB, Dapil NTB) dan Ali Mochtar Ngabalin (PBB, Dapil Sulawesi Selatan III) untuk rela tak dilantik, karena partai pengusungnya, Partai Bulan Bintang, tidak lolos ambang batas parlemen.
Kedua, pasangan Presiden/Wakil Presiden terpilih adalah pasangan dari partai mendapat kepercayaan publik yang cukup, dan tercipta korelasi yang positif antara pileg dan pilpres sebagai pemilu serentak.

Ketiga, terpenuhinya amanat norma UUD 1945, dengan tidak hilangnya hak partai politik peserta pemilu untuk mengusulkan pasangan Presiden/Wakil Presiden, dan,
Keempat, terpenuhinya amar Putusan Mahkamah Konstitusi untuk menggelar pemilu legislatif dan pemilu presiden secara serentak.

Dan terakhir, terjalin kesepahaman dan tercapai titik temu antara kelompok fraksi setuju dan kelompok fraksi tak-setuju penerapan ambang batas pencalonan presiden pada pemilu serentak 2019.
Pertanyan berikutnya, “Maukah kedua kelompok fraksi ini untuk masing-masing mundur selangkah untuk mencapai konsensus?” Mari kita tunggu!

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker