Yusril: Pengunaan Presiden Treshold dalam Pilpres 2019 Tidak Konstitusional

abadikini.com, JAKARTA – Ketua Umum Partai Bulan Bintang Yusril Ihza Mahendra menilai usulan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden yang masih dipertahankan Fraksi PDIP, Fraksi Golkar dan Fraksi Nasdem dalam revisi UU Pemilu tidak punya dasar konstitusional.

‘Ketua Pansus RUU Pemilu, Lukman Eddy mengatakan bahwa mayoritas fraksi DPR RI menghendaki agar dalam Pilpres 2019 mendatang tidak ada lagi Presidential Treshold atau PT karena Pemilu legislatif dan Pemilu Presiden akan dilaksanakan serentak. Namun ada tiga fraksi yakni PDIP, Golkar dan Nasdem yang tetap menginginkan adanya PT 20 – 25 persen seperti Pilpres yang lalu,” kata Yusril dalam keterangan tertulisnya kepada abadikini.com, Selasa (2/5/2017).

Dalam Pilpres yang lalu, yang dilakukan terpisah antara Pemilu Presiden dan Pemilu Legislatif, maka tidak semua partai atau gabungan partai boleh mencalonkan pasangan Presiden dan Wakil Presiden. Mereka baru dapat mengajukan pasangan calon jika memenuhi syarat PT 20 persen kursi DPR.

Yusril menjelaskan, ketentuan adanya PT ini dimaksudkan untuk membatasi jumlah calon dan juga dimaksudkan agar jika terpilih, pasangan Presiden mempunyai basis pendukung yang ril di DPR. “Sebab, menurut pendukung adanya PT ini, Presiden dengan DPR harus bekerjasama dengan erat dalam menyusun APBN dan membahas setiap rancangan undang-undang,” kata Yusril.

Menurut dia, dengan Pemilu serentak, maka penggunaan PT menjadi mustahil. “Bagaimana bisa mendapatkan jumlah memenuhi syarat PT kalau Pileg dan Pilpres dilakukan serentak pada hari yang sama? tegas Yusril.

Dalam menghadapi situasi ini, lanjut Yusril, Mendagri Tjahjo Kumolo yang didukung oleh PDIP, Golkar dan Nasdem mengatakan bahwa PT yang digunakan adalah PT yang didapat partai-partai dalam Pemilu sebelumnya, yakni Pemilu 2014.

Yusril menolak pendapat Mendagri tersebut. Menurutnya tidak ada alasan konstitusional menggunakan PT Pemilu sebelumnya itu dan tidak pernah dijelaskan Mendagri Tjahjo dan partai pendukungnya.

“Saya sendiri menolak pendapat ini karena saya anggap bertentangan dengan UUD 1945. Pasal 22 E UUD 45 dengan tegas mengatur bahwa pasangan calon Presiden dan Cawapres diusulkan (dicalonkan) oleh partai politik peserta pemilu, sebelum Pemilu dilaksanakan,” tegas Yusril.

Yusril melanjutkan, jadi sebelum pemilu serentak itu dilaksanakan, maka setiap partai atau gabungan partai peserta pemilu dapat mencalonkan pasangan Presiden dan Wakil Presiden. “Meskipun ketentuan lebih lanjut tentang pelaksanaan Pilpres akan diatur dengan undang-undang, namun undang-undang yang dibuat, tidak boleh bertentangan dengan apa yang sudah diatur oleh UUD 45 seperti saya terangkan tadi,” jelas Yusril.

Yusril menilai, selain bertentangan dengan UUD 45, keinginan tetap adanya PT dalam Pemilu 2019 kalau dimaksudkan agar Presiden terpilih mempunyai dukungan kuat dari DPR, juga tidak beralasan. “Kalau syarat PT adalah 20 persen seperti Pemilu 2014, maka dapat diasumsikan bahwa hanya yang 20 persen itu saja yang mendukung Presiden, sementara yang 80 persen selebihnya tidak mendukung,” ujarnya.

Menurutnya, hal seperti ini terjadi juga pada Presiden Jokowi. Ketika baru terpilih, kata Yusril, Jokowi nampak kesulitan menghadapi DPR yang tidak mendukung dirinya secara mayoritas. Jokowi terpaksa harus mencari dukungan dari partai-partai lain di parlemen, di luar partai yang mencalonkannya dalan Pilpres 2014.

Upaya ini, menurut Yusril, menyebabkan terjadinya perpecahan dalam koalisi partai yang dulu mendukung pencalonan Prabowo Subianto. “Ini menunjukkan bahwa dukungan 20 persen yang dijadikan patokan PT itu sebenarnya tidak banyak gunanya dalam upaya Presiden mendapatkan dukungan mayoritas di DPR,” ungkapnya. (sp.ak)

Baca Juga

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker