Refly Harun Nilai Paradigma MK Sudah Berubah

abadikini.com, TANGGERANG – Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun menilai, saat ini paradigma perselisihan sengketa pilkada di Mahkamah Kosntitusi (MK) sudah jauh berbeda dengan situasi sembilan tahun lalu. Karena menurut dia, fakta tersebut berdasarkan banyaknya sengketa pilkada yang ditolak oleh MK.

“Dari banyaknya gugatan yang dilayangkan ke MK terkait sengketa pilkada, ada 40 kasus yang dinyatakan gugur dan tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing). Bahkan, ada permohonan  tidak memenuhi ketentuan minimal ambang untuk mengajukan gugatan perselisihan suara,” kata Refly saat menjadi narasumber kuliah umum di Universitas Islam Syekh Yusuf (UNIS) Tangerang, Kamis (13/4/2017) malam.

Refly menjelaskan, sejak November 2008, MK mulai menangani sengketa hasil perselisihan pilkada berdasarkan ketentuan pasal 236C UU 12/2008. Secara konsisten/ MK menerapkan doktrin perselisihan hasil pilkada sebagai pengajuan permohonan.

Pasal 158 UU 10/2006 yang mengatur keharusan bagi pemohon memenuhi ambang batas atau selisih suara yang dihitung dari jumlah penduduk suatu daerah, mulai 0,5 persen sampai 2 persen. Inilah pergeseran paradigma MK.

“Maka tak heran, pada waktu itu, MK memutuskan dengan langsung tanpa adanya putusan sela. Maka pada saat itu MK disebut kalkulator,” jelasnya.

“Saat ini MK sudah banyak melakukan yang benar dalam memproses segala permohonan. Karena banyaknya permohonan yang digugurkan ini menjadi paradigma baru yang diusung MK dalam memeriksa, mengadili, dan memutuskan perselisihan hasil pemilihan kepala daerah serentak 2017 ini,” tutur Refly.

Refly Harun yang juga dosen tetap program Pascasarjana UNIS Tangerang menambahkan, awalnya perselisihan itu bukan merupakan kewenangan yang melekat pada lembaga konstitusi.

MK hanya berwenang memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara perselisihan hasil pemilihan legislatif, yaitu DPR, DPD dan DPRD, serta hasil pemilihan Presiden serta Wakil Presiden.

“Sedangkan perselisihan hasil pemilihan kepala daerah di bawah yuridiksi kewenangan Mahkamah Agung (MA). Tapi, sejak adanya undang-undang (UU) Nomor 12 Tahun 2008 atas perubahan kedua UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, kewenangan memutuskan perselisihan pemilihan umum kepala daerah beralih di MK,” pungkasnya. (sl.w.ak)

Baca Juga

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker