Refleksi Demonstrasi

dr Agus Ujianto, Msi. Med. SpB

Dimana posisi kita dalam unjuk rasa; Pecundang, ulama, rakyat, pejuang, petugas ataukah menjadi negarawan

Dalam demo 4 Nopember 2016, yang kita amati baik di lapangan dan media sosial maka kita akan bisa mengklasifikasikan diri kita sendiri di bagian mana kita memposisikan dalam penghargaan dan penilaian terhadap konsep demokrasi yang sudah kita sepakati dalam berbangsa dan bernegara dalam kesatuan Republik Indonesia tercinta ini adalah demokrasi Pancasila.

Dimana keadilan dan kepastian hukum yang disepakati melalui undang undang, seharusnyalah yang menjadi landasan untuk pijakan memutuskan suatu masalah. Dimana demonstrasi pun meski berakhir rusuh, ibarat aturan tetapi ada pungli, semua adalah efek karena oknum.

Dalam kasus kerusuhan di demonstrasi sama saja view yang dilakukan media-pun terbatas dari si pembuat skenario untuk menggiring opini. Apalagi kalau media-media tersebut juga didanai pihak tertentu, maka kearifan berpikir kita semua menjadi tolak punggung kedewasaan berpendapat.
Seperti demo lain sebelumnya, kita bisa lihat mana yang goal sesuai tuntutan dan mana yang tidak punya goal, karena ketidakkonsistenan dari tujuan demo tersebut ditambah follow up dan back up prosedur hukum yang dilaluinya.

Sebut saja di pelaksanaan demo dokter tentang DLP maka kentara sekali ketidakpastian konsep tujuan demo yang dipersiapkan dengan matang dan final, maka untuk menentang kebijakan menjadi setengah hati, apalagi jika yang berdemo hanya untuk unjuk rasa bukan untuk mencapai tujuan pasti.

Di dalam konsep bernegara demokrasi, sebagian besar pengambilan keputusan perundangan berada di tangan dewan perwakilan rakyat, yang sesungguhnya mengkaji sesuai masukan paling banyak terutama dari staffnya, bukan atas dasar evidence based yang terjadi dilapangan. Maka mudah sekali menjadi tidak sesuai untuk memenuhi semua keinginan dan aspirasi yang ada, apalagi jika staff para wakil rakyat kebanyakan tidak profesional.

Jika kita lihat unjuk rasa yang berhasil contohnya adalah demonstrasi perawat dan buruh yang berhasil menempatkan undang-undang keperawatan dan undang-undang perburuhan yang bisa menampung aspirasi. Kesatuan buruh dalam meningkatkan penghasilan lebih berhasil ketimbang demonstrasi dokter yang dianggap sudah lebih mampu, atau demonstrasi perawat lebih diakomodadir wakil rakyat karena kesan memperbaiki sistemnya, dibandingkan demonstrasi dokter yang terdiri dari berbagai kelompok baik dokter Indonesia bersatu, dokter reformasi, atau IDI sendiri serta berbagai perhimpunan spesialis dokter. Semua tidak pada satu tujuan visi sistem bagaimana usulan kongkritnya sehingga dalam tataran keilmuan akan kalah dengan kebijakan pemerintah yang ditetapkan apalagi banyak dokter bekerja pada sistem pemerintahan yang notabene harus taat aturan pemerintah.

Lihat saja banyak cabang organisasi yang tidak bergerak bahkan samasekali tidak melakukan respon dukungan meski hanya dalam bentuk tulisan rekomendasi. Bahkan unjuk rasa digunakan untuk ajang selfie sebagai bentuk absen keberangkatan.

Jika mengamati klasifikasi dalam perjuangan tuntutan, maka bisa kita kelompokan komunitas aksi dalam beberapa kelompok yaitu; Pecundang, Penghianat, Ulama / Ahli Ilmu , Rakyat, Pejuang, Petugas dan Negarawan

Pecundang biasanya selalu melakukan penggembosan dia bersikap oportunis dan pragmatis sehingga selalu gamang berpendapat. Penghianat biasanya meski dia ikut demo, tapi justru mengumpulkan data untuk diserahkan ke pihak yang didemo. Ulama dan ahli biasanya sudah menyiapkan peran secara tulus atas tujuan unjuk rasa, rakyat yang hanya bisa berharap yang terbaik dan terus bekerja melaksanakan aktifitas atas dasar kebutuhan keluarga lebih utama dan kebanyakan takut. Karena dia sendiri takut menghadapi kenyataan hidup. Pejuang biasanya sudah tertanam ideologis tujuan unjuk rasa, sehingga meskipun harus mati akibat efek samping resiko kerumunan masa.

Bagi sebagian pejuang yang tidak mampu membulatkan tekad untuk turun ke jalan, meski tidak terlibat langsung mereka akan berusaha mencari tahu dan membantu dengan kekuatan harta dan support lainya karena keterbatasan pilihan kerja, meski dalam hal nilai perjuangannya rendah tapi dia tidak lebih rendah dibanding rakyat, Pecundang dan penghianat.

Adapun petugas seperti kesehatan, polisi, kebersihan dan sebagainya melakukan kerja sesuai tujuan dan SOP yang ditentukan oleh organisasi dan instansinya. Meski kadang terprovokasi melakukan tindakan demonstrasi seperti peserta dan pejuang. Mereka sama-sama dalam konteks ideologi sebagai pelaksana yang berdedikasi ibarat cerita wayang pahlawan karna. Meski dalam posisi membela kesalahan negara itulah strategi dan politik.

Anehnya, penelitian menunjukkan banyak sekali prosentase pecundang dan penghianat dibandingkan jenis rakyat. Kebanyakan berlindung pada kalimat Nasionalisme, netral bahkan cenderung menuhankan kalimat tersebut melebihi keyakinanya sendiri seperti bahkan demokrasi tersebut memahami perbedaan.

Mereka menunggu keputusan siapa yang menang atau lebih jelasnya adalah ikut siapa yang menang. Disini jelaslah bahwa pemahaman demokrasi itu sendiri masih rendah pada kelompok ini.
Disisi untung rugi, demonstrasi atau unjuk rasa sendiri memang besar sekali nominalnya, tergantung darimana sudut pandang penilaian.  Baik nominal waktu, finansial, tenaga dan sebagainya. Proyeksi dan perspektif yang salah menyebabkan penggembosan terhadap usaha yang ada. Namun semua paham jika semua wujud unjuk rasa terjadi karena saluran pendapat normatif yang tersumbat.

Demonstrasi penuntutan pemihakan hukum dari pemerintah kepada mayoritas pemeluk agama di Indonesia, tanggal 4 Nopember 2016 akan menunjukkan babak baru perubahan politik dan sikap masyarakat akan sebuah Nasionalisme.

Kebangsaan sejati. kearifan umat dan bangsa Indonesia akan penghormatan evidence based yang jelas merepresentasikan dengan banyaknya orang yang tersinggung, maka seharusnya hukum yang dibuat pun demikian.
Manusia pecundang dan penghianat seharusnya berkurang dan tersadar atas nasib bangsanya. Pemahaman suatu bangsa yang meningkatkan Nasionaliame seharusnya membuat proteksi terhadap infiltrasi dan metastase bangsa lain apapun bentuknya, sehingga meski hidup bersama kita tidak terinjak harga diri akibat jargon bahwa perbedaan pendapat merupakan pemicu perpecahan yang efektif.

Sebagai kaum intelektual maka kita sudah seharusnya paham apalagi yang mengenyam pendidikan tinggi. Bagaimana kita bisa berdiskusi bola, olahraga, balapan mobil bisa sesantai baca koran, tetapi ketika membaca koran dan media lainnya kita menganggap sebagai sumber perpecahan. Maka sebenarnya jika sebagian dari kita masih saja enggan berbicara permasalahan bangsa, sekerdil itu pula kelompok itu.

Apakah Anda termasuk dalam kelompok pejuang, pecundang, penghianat atau cukup jadi rakyat saja? Atau memang sesuai porsi menjadi ilmuwan, ulama yang menyupport data dan analisis untuk kemajuan bangsa, atau menjadi negarawan yang mampu menimbang keadilan ala manusia dibandingkan ala illahiah. Mari kita pilih Tuhan masing-masing dalam hati kita, bahwa sejatinya masih banyak yang menuhankan ketakutan. Selamat berdemokrasi.

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker