Korupsi E-KTP, Reklamasi dan Trio Persekongkolan Oligarki Parasit: Cukong, Pejabat dan Petualang Politik

Oleh:
Haris Rusly

 

 

Pada tahun 1970, Presiden Soeharto membentuk sebuah Tim Pemberantasan Korupsi, yang disebut Komite Empat. Salah satu anggota dari tim tersebut adalah Wilopo.

Ketika menjadi anggota Komite Empat tersebut, Wilopo melontarkan sebuah pernyataan peringatan yang sangat keras, menarik dan menghebohkan. Wilopo mengatakan: “Awas bahaya!! Indonesia Terancam Trio Persekongkolan, yaitu antara cukong, pejabat dan petualang politik”.

Wilopo sendiri adalah Perdana Menteri Indonesia ke-7 yang menjabat pada 3 April 1952 – 30 April 1953 dan memimpin kabinet yang dikenal dengan nama Kabinet Wilopo.

Ketika dibentuk Konstituante, Wilopo ditunjuk menjadi Ketua Dewan Konstituante (1955-1959). Di era Orde Baru, Wilopo ditunjuk sebagai Ketua DPA (1968-1978) dan Anggota Komite Empat – Tim Pemberantas Korupsi.

Peringatan yang disampaikan oleh Wilopo tersebut adalah salah satu kenyataan masalah yang membelit bangsa Indonesia hingga saat ini. Komplotan atau persekongkolan dari tiga kekuatan oligarki parasit, yaitu antara cukong, pejabat korup dan petulang politik (politisi, aktivis, intelektual, advokat dan jurnalis) adalah kekuatan yang terdepan merusak Indonesia secara lahir dan batin.

Jika kita menengok ke belakang, ketika gerakan reformasi bergulir yang berujung pada lengsernya Presiden Soeharto pada tahun 1998, maka mulai saat itu peran determinan negara menjadi makin melemah. Tak ada lagi figur sentral dengan seluruh aparaturnya yang mengendalikan negara secara satu arah dan bersifat top down . Bahkan sistem dan tatanan yang mengatur jalannya kehidupan bernegara juga hancur berantakan.

Secara teoritis, dengan melemahnya fungsi dan peran negara dalam mengontrol dan mengendalikan masyarakat secara diktatorship seharusnya dapat melahirkan dan membentuk bangunan atau formasi sosial yang baru, yaitu lahirnya kekuatan civil society secara bottom up, seperti yang terjadi di negara negara barat.

Namun, kenyataannya tidak demikian adanya. Negara era reformasi justru bergerak tanpa pedoman nilai-nilai, tanpa landasan sistem dan tanpa kepemimpinan. Akibatnya, yang berkuasa bukan civil society. Tak ada kekuatan rakyat yang lahir seperti yang diangankan oleh para aktivis dan para intelektual kampus  yang mengusung reformasi tersebut.

 

Tentu semuanya di luar dari proyeksi teoritis dari para intelektual dan aktivis. Kala itu tak ada yang menduga jika formasi atau bangunan dan susunan sosial yang terbentuk dan berkuasa di era reformasi adalah sebuah “oligarki parasit” yang menggurita di dalam seluruh sel-sel kehidupan sosial dan politik negara. Oligarki parasit tersebut terbentuk oleh persekongkolan alamiah antara tiga parasit politik, yaitu cukong, pejabat korup dan petualang politik (politisi, aktivis, intelektual, advokat dan jurnalis).

Kita dapat menyimpulkan bahwa pada tahap saat ini, arah pembangunan negara dikendalikan sepenuhnya oleh ketiga oligarki parasit tersebut. Kita dapat melihat secara telanjang praktik oligarki parasit tersebut dari kasus korupsi E-KTP dan reklamasi pantai di Propinsi DKI yang melibatkan ketiga komponen parasit politik tersebut, yaitu cukong, pejabat korup dan petualang politik. Praktik oligarki parasit juga dapat dibaca di setiap pelaksanaan Pilpres, Pilkada dan juga pemilihan calon Hakim Agung maupun calon Kepala Polri.

Bandingkan dengan formasi atau susunan dan bangunan kekuasan era Orde Baru yang dikenal dengan tiga jalur piramida, yaitu ABRI, Golkar dan Birokrasi, dengan pusat kendali kekuasaan yang sepenuhnya berada di tangan Presiden Soeharto dan ABRI. Maka saat ini, bangunan atau formasi sosial yang membentuk oligarki parasit tersebut mulai menemukan pusat kendali kekuasaannya yang baru, yaitu cukong.

Jika kita mau jujur, maka kita dapat mengatakan bahwa pergeseran atau pengangkatan para pejabat di era reformasi, baik di dalam tubuh institusi TNI dan Polri, pejabat pemerintah dan birokrasi, penegak hukum, pimpinan Partai Golkar dan Partai Politik lainnya, sesungguhnya berada dalam kendali para cukong tersebut.

Sejumlah pejabat bahkan dicitrakan berasal dari kaum profesional dan tidak terkontaminasi menjadi petugas partai, tapi pada praktenya dia menjadi petugas cukong. Ada juga Gubernur yang berlagak maju dari jalur independen, agar terhindar dari kontaminasi sebagai petugas Partai, tapi kenyataannya dia adalah petugas cukong. Melepaskan diri dari oligarki partai agar leluasa diatur oleh oligarki cukong.

Tentu, situasi sosial tersebut dapat terjadi karena perubahan sosial di negeri kita sangat jauh berbeda dengan yang terjadi di barat. Di negara-negara barat, reformasi atau perubahan tatanan politik adalah akibat dari revolusi industri dan teknologi.

Penemuan teknologi melahirkan revolusi industri yang membentuk bangunan, susunan dan formasi society yang baru, yaitu masyarakat kapitalis.

Runtuhnya susunan dan bangunan masyarakat feodalistik di barat karena akibat dari tekanan revolusi industri yang melahirkan susunan dan bangunan masyarakat dalam formasi yang baru, yaitu masyarakat kapitalistik atau civil society yang menghendaki kemerdekaan individu untuk berbisnis, kesetaraan di depan hukum dan kebebasan dalam berbisnis. Tak ada lagi hak istimewa untuk para raja dan pangeran.

Sementara yang terjadi di negara-negara pasca kolonial, seperti di Indonesia, sejak merdeka, tak ada industri yang mandiri, tidak ada revolusi teknologi seperti yang terjadi di barat. Karena itu, secara teoritik, seperti yang dikatakan oleh Yoshira Kunio, yang tumbuh di negeri ini adalah kapitalisme semu (ersatz kapitalisme), yaitu kapitalis “kontraktor” yang kaya raya dari mengerjakan projek-projek pemerintah dan merampok SDA. Tak ada kapitalis sejati yang tumbuh di luar dari campur tangan negara seperti yang terjadi di eropa, yaitu kapitalisme yang lahir dengan revolusi teknologi dan industri.

Karakternya dalam berbisnis yang sangat bergantung kepada jaminan dan campur tangan pemerintah, maka para kapitalis yang bertindak sebagai cukong tersebut harus terus menerus membina para pejabat pemerintah atau calon pejabat dan penegak hukum untuk menjadi kacung dan jongosnya dalam meng-create atau mengamankan projek projek dengan jaminan negara, atau mengeluarkan izin untuk penguasaan tanah dan sumber daya alam. “Kapitalis cukong” hanya bertujuan mengakumulasi keuntungan dan kekayaan, namun tak akan punya keberanian dalam membangun inovasi dan industri seperti yang terjadi di barat, Jepang atau Korea Selatan.

Oleh karena tidak adanya revolusi teknologi dan industri yang mendahului refomasi tahun 1998, maka bangunan atau formasi politik kekuasan yang terbentuk dan berkuasa di era reformasi adalah gerombolan parasit yang membentuk oligarki yang sangat liar, atau yang kami istilahkan sebagai “oligarki parasit”, dengan pusat kendali kekuasaannya berada di tangan para cukong.

Saat ini, cukong adalah pengganti fungsi dan kekuasaan dari Presiden Soeharto dan ABRI di era Orde Baru. Di era demokrasi liberal yang berbiaya mahal seperti saat ini, para cukong sangat berkuasa dalam menentukan pemenang setiap Pilpres dan Pilkada.

Suara rakyat ditentukan oleh keinginan cukong. Jika cukong menghendaki, maka seluruh opini dapat dibeli dan direkayasa untuk membentuk kesadaran rakyat agar mendukung dan memilih kandidatnya si cukong. Lalu, setelah terpilih jadi Presiden atau Kepala Daerah, maka seluruh kebijakan akan dikendalikan sepenuhnya oleh para cukong, termasuk penentuan siapa yang menjadi menteri, kepala badan, Dirjend dan Kepala Polri.

Sesungguhnya istilah cukong yang dikenal sekarang diserap dari bahasa Hokkian. Mandarinnya adalah zhugong artinya pemilik atau bos. Di zaman Samkok, para Jenderal dan menteri memanggil dan menyebut kaisar atau pemimpin mereka dengan kata zhugong yang artinya “pemilik jiwa” mereka.

Cukong dalam bahasa Indonesia artinya adalah bos besar. Sebenarnya tidak ada konotasi negatifnya, namun karena cukong sering digunakan untuk melambangkan para bos-bos besar Tionghoa yang biasanya melakukan KKN dengan aparat berwenang, maka istilah cukong kemudian diliputi dengan makna negatif.

Ketika reformasi bergulir tahun 1998, negara-negara barat melalui puluhan lembaga funding bertindak menjadi cukong yang membeli para pejabat dan petualang politik untuk melakukan amandemen terhadap UUD 1945 serta perubahan terhadap sejumlah UU untuk mendukung pasar dan persaingan bebas. Ketika Pilgub DKI dan Pilpres 2014 digelar, para pengembang reklamasi bertindak menjadi cukong untuk memenangkan Jokowi, baik sebagai Gubernur maupun berikutnya sebagai Presiden.

Dari gambaran di atas, maka patut kita wapadai, terkait peringatan yang disampaikan oleh Wilopo di atas. Awas Bahaya!! Indonesia terancam trio persekongkolan (trio oligarki parasit), cukong, pejabat korup dan petualang politik.

Baca Juga

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker