DPR Aceh Sebut Legalisasi Poligami untuk Selamatkan Perempuan

Abadikini.com, JAKARTA –  Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) berdalih rencana pemerintah Aceh melegalkan poligami untuk menyelamatkan perempuan dan anak yang selama ini menjadi korban pernikahan siri.

Wakil Ketua Komisi VII DPR Aceh, Musannif mengatakan selama poligami tidak dilegalkan, maka perempuan akan tetap menjadi korban. Dia menilai praktik nikah siri tidak pernah memberikan kejelasan, terutama bagi pihak perempuan. Sebab pernikahan ini tidak tercatat oleh negara.

“Kami mau kasih tahu kepada perempuan-perempuan siri itu, Anda akan menjadi korban kalau (pernikahan) ini tidak tercatat. Bagaimana nanti masalah ahli waris, harta gono-gini,” kata Musannif melalui sambungan telepon, Sabtu (6/7) seperti dilansir Abadikini dari CNN.

Dia mengatakan praktik nikah siri sudah berjalan di tengah masyarakat, baik di Aceh maupun di daerah lain, walaupun poligami belum dilegalkan. Menurutnya, daripada nikah siri terus dilakukan, lebih baik dibuat aturan yang jelas terkait poligami.

“Kadang isu (poligami) ini liar dan seakan ini mau ambil enaknya saja orang laki, padahal kami mau menyelamatkan perempuan dan anak dari pernikahan siri yang terjadi selama ini,” ujarnya.

Musannif menjelaskan poligami akan diatur dalam salah satu bab di dalam qanun hukum keluarga. Qanun atau di daerah lain disebut peraturan daerah, mengatur tentang pokok-pokok syariat Islam. Qanun hukum keluarga sendiri membahas tentang perkawinan, perceraian, perwalian, dan masalah keluarga lainnya.

“Dalam hukum Islam diatur, memang laki-laki diperbolehkan punya istri sampai empat. Tapi kadang orang bicara sampai di situ, ayat selanjutnya yang bicara tentang keadilan, orang tidak bicara,” ujarnya.

Musannif mengatakan praktik poligami harus mendapat izin dari istri, meskipun tidak mutlak. Kemudian, hakim Pengadilan Tinggi Agama atau di Aceh disebut Mahkamah Syar’iyah, akan mengeluarkan surat izin pernikahan selanjutnya untuk dicatat negara.

“Kami enggak kasih cek kosong, ibaratnya. Hakim Mahkamah Syar’iyah yang memberikan izin itu pun penuh pertimbangan,” ujarnya.

Musannif pun menjelaskan praktik poligami nantinya juga memerlukan surat dari Badan Narkotika Nasional (BNN) maupun Dinas Kesehatan. Hal ini untuk mengetahui apakah calon pasangan merupakan pengguna narkoba atau mengidap penyakit seperti HIV/Aids maupun yang lainnya.

“Misalnya terpapar HIV, kalau (pasangan) mau juga, ya silakan. Tapi jangan sampai sembunyikan itu, karena nanti yang jadi korban istri dan anak lagi,” ujar politikus PPP itu.

Usulan Dinas Syariat Islam

Musannif mengatakan draf poligami ini merupakan usulan eksekutif, dalam hal ini Dinas Syariat Islam Aceh, bukan inisiatif DPRA.

Komisi VII Bidang Agama dan Kebudayaan DPRA yang membahas qanun ini terdiri dari sepuluh orang, empat di antaranya adalah perempuan. Musannif mengklaim sejauh ini tak ada penolakan, meskipun banyak masukan dari pihak perempuan selama pembahasan poligami ini.

“Karena tidak ada yang kami atur hanya untuk kepentingan laki-laki semata,” ujar Musannif.

Selama ini DPRA telah berkonsultasi dengan Kementerian Agama agar aturan terkait poligami ini tidak bertentangan dengan UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Selain itu, pihaknya juga berkonsultasi dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA). Musannif mengatakan kementerian pimpinan Yohana Yambise itu akan memberikan jawaban tertulis terkait pembahasan ini.

“Dengan Kementerian PPPA, seakan (poligami) ini mengandung pelanggaran HAM dari istri pertama. Kami coba jelaskan dari hukum Islam, toh kita enggak atur pun ini dilakukan, kalau kita atur kan seharusnya lebih baik,” ujarnya.

Musannif mengatakan DPRA menjadwalkan rapat dengar pendapat umum (RDPU) pada 1 Agustus mendatang. Pihaknya juga akan melibatkan unsur Pengadilan Tinggi Agama, Kemenkumham, Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU), BNN, maupun Dinas Kesehatan.

Selain itu, DPRA juga akan melibatkan Kemendagri, Komnas HAM, dan Komnas Perempuan.

Musannif mengatakan DPRA harus menyelesaikan draf qanun terkait poligami ini sebelum pelantikan anggota DPRA yang baru digelar pada 30 September 2019.

Program legislasi daerah (Prolegda) 2018 memutuskan aturan ini dibahas di Komisi VII DPRA periode sekarang. Begitu masuk periode baru, maka draf ini tidak bisa dibahas lagi, kecuali jika DPRA ingin mengajukan kembali dalam prolegda selanjutnya.

“Kami ingin kalau bisa ini selesai dalam masa jabatan periode DPRA sekarang ini,” ujarnya.

Terkait hal ini, Ketua MPU Kabupaten Aceh Barat, Teungku Abdurrani Adian mengatakan pihaknya sangat setuju dengan rencana melegalkan poligami bagi masyarakat di daerahnya.

“Poligami ini secara hukum Agama Islam memang sah (legal), akan tetapi selama ini belum diterapkan dalam aturan daerah. Jika aturan ini jadi diterapkan, kita (ulama) sangat mendukung,” kata Teungku Abdurrani Adian kepada Antara di Meulaboh.

Editor
Selly

Baca Juga

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker