Polemik Penutupan Alexis, Sebuah Interaksi Faktor Politis dan Simbolis Prostitusi di Ibu Kota

abadikini.com, JAKARTA – Alexis kian menjadi sorotan dalam sepekan belakangan. Janji yang pernah diungkapkan Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan di masa kampanye, ditunaikan. Hotel yang terletak di bilangan Pademangan, Jakarta Utara itu tak lagi diberikan perpanjangan izin usaha. Singkatnya, ditutup.

Geger Alexis, sejatinya bukan barang baru. Kemunculannya sudah jauh hari mengiringi keputusan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta saat masih di bawah kendali mantan Gubernur Basuki ‘Ahok’ Tjahaja Purnama.

Ahok, yang pada awal 2016 mengeksekusi pengembalian fungsi Kalijodo, Jakarta Barat sebagai ruang terbuka hijau (RTH), dianggap sebagian pihak telah memberlakukan hukum yang amat pandang bulu.

Diukur dari ikhtiar pemberantasan prostitusi di Ibu Kota, Ahok, dibilang cuma tegas terhadap recehan.

Lokalisasi Kalijodo dengan tarif pekerja seks komersial (PSK) yang ‘merakyat’, disikat. Tapi, Alexis yang diduga memiliki pangsa pasar kalangan elite, malah dibiarkan melenggang dan melangit.

Anggapan yang tak berujung temu. Pasalnya, Ahok pun tak merasa aksinya menyulap Kalijodo itu didorong selain tuntutan untuk mengembalikan fungsi awal kawasan di bantaran sungai. Pun terhadap Alexis, jika pun harus ditutup dengan alasan adanya dugaan pelanggaran praktik asusila, maka, dia bilang, akan sangat sulit dibuktikan.

Anies, rupanya punya semangat lain . Penyakit masyarakat semacam ini, sama mengancamnya serupa kemacetan, banjir, dan tetek bengek lain yang dihadapi dalam keseharian penduduk Jakarta.

Atau, jangan-jangan, keduanya cuma bermain pada tataran simbol. Toh, Alexis, serupa Kalijodo. Bukan satu-satunya tempat, jika memang harus dianggap bermasalah.

 

Sejenis Alexis

Pada 2015, Kementerian Sosial (Kemensos) RI mencatat, ada 168 daerah di Indonesia yang memiliki lokalisasi prostitusi. Dari sebaran itu, diperkirakan jumlah PSK secara keseluruhannya mencapai 56.000 orang.

Baca: Surga Dunia di Lantai 7 Hotel Alexis, Kamera Ponsel pun Disegel dengan Stiker Khusus

Empat tahun sebelumnya, badan program pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) bekerja sama dengan Dinas Sosial DKI Jakarta, dan Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) mendapatkan data bahwa jumlah PSK di Ibu Kota berjumlah 27.000 orang.

Mereka terbagi menjadi tiga tingkatan. Level bawah dengan tarif berkisar ratusan ribu rupiah saja, kelas menengah dimulai dari harga Rp3.000.000,- untuk sekali kencan, sedangkan PSK termahal berani memasang bayaran dari belasan hingga puluhan juta rupiah.

Konyolnya, sebagaimana data yang dihimpun lembaga penelitian Havoscope, praktik prostitusi di Indonesia mampu menyedot duit sebesar Rp30 triliun per tahun. Pantas saja, badan riset yang khusus meneliti aktivitas pasar gelap itu memasukkan Indonesia ke dalam jajaran 12 negara dengan tingkat belanja esek-esek tertinggi di dunia.

Sampai di sini, barangkali iktikad Anies memang tak mengada-ada. Penyakit masyarakat ini memang terbilang akut.

Jakarta, sebagai titik sentral Indonesia tak boleh berlama-lama melenggangkan hal yang dianggap menabrak norma agama, pun sosial.

Meski perkaranya, benarkah Alexis menjadi satu-satunya tempat kegemaran pria hidung belang? Anggapan itu pun, oleh sebagian pihak masih disangsikan lantaran Pemprov tak menyertai keputusan itu dengan bukti-bukti yang kuat.

Soal ini, bisa juga mengadopsi pendapat penulis Jakarta Undercover (2003) Moammar Emka. Dalam timbangan dia, Pemprov DKI akan kesulitan untuk menemukan bukti pelanggaran sebagaimana yang dituduhkan mereka kepada Alexis.

Bukti itu, kata Moammar, sudah nihil sejak hal-hal yang bersifat administratif.

Moammar menyebut, apa yang dituduhkan, memang sangat mungkin terjadi. Namun untuk membuktikannya terlampau buntu karena semua kegiatan tamu berada di dalam kamar.

“Transaksi yang terjadi antara tamu dan perempuannya bisa jadi itu urusan kedua,” jelas Moammar dalam program Prime Time di Metro TV, Senin, (30/10/2017).

Belum lagi, jika melihat pola Alexis sebagai one concept entertainment, alias hotel dengan seabrek fasilitas hiburan, maka, Pemprov akan dibebani keharusan untuk memberlakukan konsekuensi hukum kepada banyak hotel sejenis.

 

Moammar pun mecatat, Jakarta memiliki lebih dari 300 hotel sekelas Alexis.

Pemprov DKI hari ini, tak boleh lagi dianggap pilih kasih. Satu keputusan berani, amat sayang jika tidak diikuti oleh tindak lanjut yang pasti.

 

Politis dan simbolis

Tak sedikit yang khawatir, Alexis cuma mewujud sebagai obyek dari ambisi pertarungan politik. Alexis adalah satu simbol dari sekian banyak janji yang pernah didengar di masa-masa kampanye.

Mengenai ini, sosiolog Prancis Pierre Felix Bourdieu dalam Language & Symbolic Power (1991) mengatakan, kekuatan simbol dalam politik kerap digunakan untuk membentuk konstruksi realitas. Dan di balik simbol itu, yang beroperasi adalah mekanisme kekuasaan.

“Bak sihir, ia mampu menggiring orang untuk mempercayai, mengakui, dan mengubah pandangan seseorang,” tulis Bourdieu.

Pemikir kebudayaan Indonesia Yasraf Amir Piliang dalam Hantu-hantu Politik dan Matinya Sosial (2003) juga menjelaskan, pengelolaan politik semacam itu diharapkan bisa seperti simbol-simbol yang banyak dilahirkan sejarah. Satu kebijakan pemimpin terhadap sebuah obyek, dapat menempel secara lekat dan membentuk citra kepemimpinan secara pribadi.

“Sejarah telah memproduksi berbagai simbol positif. Gandhi sebagai simbol anti kekerasan. Soekarno sebagai simbol anti-imprealisme. Mandela sebagai simbol antirasisme, dan seterusnya,” tulis Yasraf.

Anies, barangkali, memang memiliki tanggungjawab untuk memenuhi keinginan sebagian besar pendukungnya yang diklaim berasal dari kelompok Islam. Tak sekali dua, ia seakan-akan menunjukkan kembali posisi di mana berdiri dan berpihak.

Soal Alexis, pada 13 Januari 2017 dalam debat kandidat Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta, Anies berjanji akan menutup unit usaha PT Grand Ancol Hotel itu. Tentu, jika ia dan pasangannya, yakni Sandiaga Salahuddin Uno berhasil memenangi Pilgub DKI 2017.

Kini, Anies sudah membuktikannya. Soal kelanjutannya bagaimana? Entah. (beng.ak)

Baca Juga

Berita Terkait
Close
Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker