Pilkada Serentak 2018 Diprediksi Bakal Diwarnai Bagi-bagi Uang

Abadikini.com, JAKARTA- Pengamat Politik Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI), Ujang Komarudin mengatakan, demokrasi elektoral yang berlaku di Indonesia saat ini memang masih akan diwarnai money politics. Karena uang masih menjadi faktor menentukan seseorang untuk bisa bermain dalam politik dan untuk meraih kekuasaan.

Masalah uang juga diperkirakannya masih akan mewarnai pilkada serentak. “Jika pilkada dilumuri permainan uang, maka akan menghasilkan pemimpin yang palsu, korup, dan hanya akan mementingkan diri kelompok dan partainya,” kata Ujang seperti dikutip Harian Terbit, Jumat (26/1/2018).

Menurut Ujang, Pilkada tanpa kecurangan dan tanpa permainan uang bisa diwujudkan. Sayangnya, fenomena mahar politik menjadi fakta yang tidak terbantahkan. Tidak heran usaha membeli rekomendasi kepada partai politik oleh calon kepala daerah itu bisa terjadi. Mahar politik menjadi indikasi awal bahwa proses Pilkada sudah diwarnai oleh permainan uang.

“Memang didunia ini tidak ada makan siang gratis. “No free lunch”. Termasuk urusan mahar dalam Pilkada. Tidak ada yang gratis untuk mendapatkan rekomendasi partai politik,” jelasnya.

Lebih lanjut Ujang mengatakan, tidak dipungkiri bahwa partai politik membutuhkan dana segar untuk operasional partai dan untuk memenuhi gaya hidup pimpinan partai. Sementara dari sisi yang lain calon kepala daerah juga membutuhkan rekomendasi partai politik sebagai syarat pencalonan menjadi kepala daerah. Oleh karena itu ada calon kepala daerah yang mengatakan, tidak akan terpilih oleh masyarakat jika tidak ada “uang

Uang Cendol

Ujang menuturkan, berdasarkan riset yang dilakukannya, waktu yang tepat untuk memberikan “uang cendol” adalah di hari H pencoblosan. Oleh karena itu tidak heran ada istilah “serangan fajar”. Artinya para tim sukses Paslon sangat sibuk di waktu fajar untuk membagi-bagikan “uang cendol” tersebut. Bahkan calon kepala daerah mengaku menghabiskan uang Rp 40 milyar untuk bisa maju. Uang sebesar itu juga berlaku bagi yang ingin mencalonkan sebagai anggota DPRD.

“Harga suara pemilih menjadi mahal dan tinggi karena masing-masing calon anggota DPRD juga beradu kekuatan dan gengsi. Jika ada calon A membayar lima puluh ribu per-pemilih, maka calon B akan membayar lebih tinggi dari angka yang dikeluarkan oleh calon A,” jelasnya.

Dia mengemukakan, Pilkada jangan dirusak oleh “uang cendol”. Berbahaya dan merusak sendi-sendi bernegara. Jika mau bersedekah “uang cendol” bersedekahlah dengan ikhlas. Dan bersedekahlah ketika sedang tidak menjadi calon kepala daerah,” paparnya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Komite Pemantau Legislatif (KOPEL) Indonesia, Syamsuddin Alimsyah, adanya 70 persen kandidat yang bertarung di Pilkada serentak diduga lakukan money politic, tentu hal ini menjadi taruhan bagi Bawaslu agar proses Pilkada bisa berlangsung dengan jujur dan adil. Oleh karena itu proses Pilkada harus bisa diatasi Bawaslu dengan kewenangan yang kuat. Bawaslu harus kerja ekstra mengungkap modus politik uang.

“Bila Bawaslu lengah dan gagal dalam Pilkada maka akan berefek kepercayaan publik akan kemampuannya menjaga dan memastikan pemilu berintegritas menjadi pudar,” tegasnya. (ak)

Baca Juga

Berita Terkait
Close
Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker